TASIKMALAYA – Tulisan ini mengajak kita menengok kembali salah satu wajah paling kelam dari masa jahiliyyah. Sebuah zaman ketika sebagian orang Arab tega mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Bukan karena anak itu bersalah, tetapi karena rasa malu, marah, dan takut miskin.
Mereka memandang anak perempuan sebagai beban. Mengurangi jatah makan keluarga. Tidak dianggap mampu menghasilkan harta sebagaimana anak laki-laki. Ketakutan akan lapar dan kemiskinan membuat harapan runtuh, iman melemah, dan akal sehat hilang.
Bahkan orang-orang yang sebenarnya berkecukupan pun merasa hartanya akan “berkurang” dengan kehadiran anak. Maka terjadilah pembunuhan—baik terhadap anak perempuan maupun laki-laki—dengan satu alasan klasik: takut miskin.
Itulah puncak pesimisme manusia. Sekaligus cermin dari kemiskinan iman dan ilmu.
Allah Menjamin Rezeki Setiap Makhluk
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan Allah-lah yang menjamin rezekinya.”
(QS. Hud: 6)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah bahwa Dia menanggung rezeki seluruh makhluk, tanpa kecuali: kecil maupun besar, di darat maupun di laut.
Imam Ath-Thabari menambahkan bahwa Allah bukan hanya menyediakan rezeki, tetapi juga memberi petunjuk kepada makhluk-Nya tentang cara mencari dan memperolehnya.
Kata dābbah menunjukkan makhluk yang bergerak dan berikhtiar, bukan yang berpangku tangan menunggu hujan uang atau badai emas. Lihatlah burung: ia keluar dari sarangnya setiap pagi, mencari makan untuk dirinya dan keluarganya.
Begitulah hakikat ikhtiar. Dan itulah pula kewajiban seorang suami: berusaha menafkahkan sebagian hartanya untuk keluarganya.
Jangan Takut Berlebihan
Dalam sebuah hadits, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”
Beliau menjawab: ‘Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.’
Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’
Beliau menjawab: ‘Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu.’
(HR. Bukhari)
Hadits ini menegaskan bahwa ketakutan terhadap rezeki anak adalah dosa besar, karena di dalamnya terdapat prasangka buruk kepada Allah.
Setiap anak—laki-laki maupun perempuan—telah dijamin rezekinya. Anak bukan beban. Rezekinya tidak mengambil “jatah” siapa pun. Allah tidak pernah salah membagi.
BACA JUGA : Ibu, Kuatlah! Demi Surga Anakmu: Ketegaran Asma’ binti Abu Bakar saat Melepas Putranya Menuju Syahid
Memahami Peran dan Tanggung Jawab
Allah berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”
(QS. Al-Baqarah: 233)
Dan juga:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.”
(QS. Ath-Thalaq: 6)
Islam menetapkan dengan jelas: suami adalah pemimpin keluarga, dan salah satu bentuk kepemimpinannya adalah menafkahi. Dalam harta seorang suami terdapat hak istri dan anak-anaknya.
Maka seorang suami tidak boleh merasa bahwa hartanya sepenuhnya miliknya pribadi. Ada amanah di dalamnya. Kekhilafan yang sering terjadi adalah ketika sebagian suami membuat istrinya merasa “kecil” karena hanya menerima nafkah dan tidak berpenghasilan sendiri.
Padahal Allah juga berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan…”
(QS. An-Nisa: 34)
Kemuliaan yang Sering Terlupa
Di sisi lain, seorang istri pun perlu memahami bahwa nafkah bukan sedekah, melainkan hak. Tugas mulianya sebagai wanita shalihah—qanitat dan hafidzah—adalah ibadah besar di sisi Allah.
Maka jangan merasa rendah diri hanya karena tidak bekerja kantoran atau tidak menerima gaji. Rezekimu tidak lebih rendah, hanya jalurnya berbeda.
Allah menitipkan rezekimu melalui tangan orang yang bertanggung jawab atasmu: suamimu. Dan itu adalah kemuliaan, bukan kekurangan. (*/)
Sumber : Disadur dari Kitab Ar Rahiq Al Makhtum Shofiyyurrahman al Mubarokfuri












