TASIKMALAYA – Kata prediksi sebenarnya kurang tepat jika digunakan untuk seluruh pembahasan sejarah Islam. Sebab, dalam tradisi keilmuan Islam, sejarah bukan sekadar rangkaian peristiwa masa lalu—melainkan juga ruang bagi wahyu. Di sinilah muncul istilah cahaya prediksi, yang mencakup dua hal besar:
-
Nubuwwat, yaitu berita-berita masa depan yang disampaikan Nabi, yang pasti terjadi karena bersumber dari wahyu.
-
Analisa prediktif, yaitu pembacaan terhadap sejarah masa lalu untuk memahami kondisi hari ini dan kemungkinan yang akan datang.
Prediksi pada dasarnya adalah analisa terhadap sesuatu yang belum terjadi, tanpa jaminan kebenaran. Peluang benar dan salahnya seimbang. Karena itu, istilah prediksi tidak dapat digunakan untuk Nubuwwat. Berita dari Nabi adalah ketetapan yang pasti terjadi. Tidak mungkin salah, karena ia bukan hasil analisa manusia, melainkan wahyu.
Kekuatan Analisa Prediktif Berbasis Wahyu
Adapun analisa prediktif yang dilakukan manusia memang memiliki peluang salah. Namun ketika pondasinya adalah wahyu, peluang benarnya menjadi sangat besar. Kesalahan jika muncul, ada pada cara manusia memahami dan menyimpulkan, bukan pada landasannya.
Oleh sebab itu, sejarah yang diajarkan dalam kurikulum harus sampai pada level pembacaan zaman, bukan sekadar hafalan tahun dan peristiwa. Jika sejarah hanya menjadi daftar peristiwa, maka pendidikan tersebut gagal mencapai tujuan.
BACA JUGA : Cahaya Solusi Itu Ada pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
BACA JUGA : Cahaya Motivasi dari Hijr Ismail: Belajar Bermimpi Besar ala Tokoh Besar Islam
DR. Thariq As-Suwaidan memberi contoh menarik. Ia membaca kondisi dunia Arab hari ini sebagai cerminan keterpecahan Andalus ketika terbelah menjadi lebih dari 20 duwailat (negara-negara kecil). Namun beliau menegaskan bahwa keterpurukan umat Islam saat ini tidak seburuk masa Andalus.
Andalus dalam kondisi terburuknya masih mampu bangkit empat abad kemudian. Karena itu, umat Islam masa kini pun memiliki peluang bangkit dengan syarat belajar dari sejarah, keluar dari perpecahan, menyatukan visi, dan memperbaiki kelemahan internal.
Inilah cara ahli sejarah membaca masa lalu untuk memahami masa kini dan masa depan.
Nubuwwat: Cahaya Masa Depan yang Pasti Terjadi
Lebih dari sekadar analisa, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan banyak nubuwwat—berita tentang masa depan yang belum terjadi hingga zaman kita hari ini. Semuanya pasti terwujud.
Di antaranya hadits berikut:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكْثُرَ الْمَالُ وَيَفِيضَ حَتَّى يَخْرُجَ الرَّجُلُ بِزَكَاةِ مَالِهِ فَلَا يَجِدُ أَحَدًا يَقْبَلُهَا مِنْهُ وَحَتَّى تَعُودَ أَرْضُ الْعَرَبِ مُرُوجًا وَأَنْهَارًا
“Kiamat tidak akan terjadi sampai harta melimpah, hingga seseorang membawa zakat namun tidak menemukan seorang pun yang mau menerimanya. Dan hingga tanah Arab kembali hijau serta dipenuhi sungai-sungai.” (HR. Muslim)
Hingga kini, dua perkara besar tersebut belum terjadi:
-
Harta melimpah sampai tidak ada mustahiq—sementara kemiskinan masih tersebar di seluruh dunia.
-
Arab menjadi hijau dan bersungai-sungai—hari ini masih padang gurun luas.
Ini bukan sekadar informasi masa depan, tetapi juga isyarat tentang perubahan sosial, ekonomi, ekologi, dan peradaban yang akan muncul sebelum dan sesudahnya. Semua itu layak menjadi bahan kajian mendalam.
Sejarah + Wahyu = Pedoman Membaca Zaman
Mempelajari sejarah dan nubuwwat bukan hanya untuk menambah wawasan. Ia adalah alat baca untuk memahami:
-
kondisi hari ini,
-
arah perubahan peradaban,
-
apa yang harus dilakukan,
-
serta apa yang kemungkinan terjadi setelah ini.
Sejarah memberi pola. Nubuwwat memberi kepastian. Keduanya menjadi cahaya bagi perbaikan, perencanaan, dan perubahan umat menuju arah yang benar. (LS)












