TASIKMALAYA – Bentuk jahiliyah yang paling halus sekaligus paling berbahaya adalah kesombongan dan fanatisme buta. Ia tidak selalu tampil dalam bentuk kekufuran terang-terangan, tetapi bersembunyi di balik identitas, gengsi, dan loyalitas sempit.
Al-Qur’an menyebutnya dengan tegas sebagai “kesombongan jahiliyah”:
“…ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan jahiliyah…”
(QS. Al-Fath: 26)
Fanatisme ini bukan lahir dari akidah yang benar, melainkan dari ego, rasa superior, dan kebencian terhadap kebenaran, meski kebenaran itu telah jelas di hadapan mata.
Peristiwa Perjanjian Hudaibiyah menjadi contoh nyata bagaimana hamiyyah jahiliyah bekerja. Kaum Quraisy menolak dua hal mendasar dalam redaksi perjanjian:
-
Penulisan “Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm”
-
Penyebutan “Muhammad Rasulullah”
Penolakan itu bukan karena mereka tidak memahami maknanya. Mereka paham, tetapi kesombongan dan fanatisme membuat mereka enggan mengakuinya. Kebenaran terasa pahit ketika harus merendahkan ego.
BACA JUGA : Jahiliyah dalam Al-Qur’an (3): Penampilan dan Tingkah Laku yang Menipu
BACA JUGA : Jahiliyah dalam Al-Qur’an (2): Ketika Hukum Manusia Menggantikan Wahyu
BACA JUGA : Jahiliyah dalam Al-Qur’an (1): Prasangka dan Keyakinan yang Merusak Tauhid
Inilah wajah jahiliyah: bukan ketidaktahuan, melainkan penolakan sadar terhadap kebenaran.
Ketika Amal Besar Menjadi Gugur
Rasulullah ﷺ mengingatkan bahwa tidak semua perjuangan bernilai di sisi Allah. Dalam berbagai hadits ditegaskan, jihad yang dilakukan karena:
-
fanatisme kelompok,
-
keberanian untuk dipuji, atau
-
dorongan riya dan kebanggaan diri,
maka tidak diterima oleh Allah.
Yang bernilai hanyalah perjuangan yang murni untuk meninggikan kalimat Allah.
Pesan ini sangat relevan hari ini. Fanatisme terhadap kelompok, suku, tokoh, bahkan ideologi, ketika ia menabrak kebenaran, itulah jahiliyah paling licik. Ia tampak religius, tetapi ruhnya rusak.
Penutup Seri: Jahiliyah Bukan Masa, tapi Penyakit
Jahiliyah bukan sekadar periode sebelum Islam. Ia adalah penyakit yang bisa muncul kapan saja, bahkan di tengah masyarakat beriman.
Ia dapat menyusup melalui:
-
keyakinan yang menyimpang,
-
hukum yang menolak nilai ilahi,
-
penampilan yang mengaburkan identitas,
-
dan fanatisme yang mematikan nurani.
Karena itu, tugas kita hari ini bukan hanya mengenang sejarah jahiliyah, tetapi mendiagnosis diri—keluarga, komunitas, dan masyarakat—agar cahaya kebenaran tidak tertutup oleh kesombongan yang tak kita sadari. (*/)












