TASIKMALAYA – Di samping Ka’bah, tepat di dalam Hijr Ismail tempat yang begitu mulia, empat orang duduk bersama. Mereka bukan orang biasa. Tiga di antaranya adalah Abdullah, Mush’ab, dan ‘Urwah, putra Zubair bin Awwam dan Asma’ binti Abu Bakar. Artinya, mereka adalah keponakan Aisyah radhiallahu ‘anha. Orang keempatnya adalah sahabat mulia Abdullah bin Umar, sosok yang dikenal sebagai cerminan sempurna ayahnya, Umar bin Khattab.
Mereka tidak sedang membahas politik. Tidak sedang berdiskusi tentang masalah umat. Mereka sedang melakukan sesuatu yang sederhana, tapi luar biasa penting: bermimpi besar.
Majelis itu dibuka dengan satu kalimat yang relevan bagi siapa pun di zaman apa pun: “Tamannaw — bermimpilah!”
Abdullah bin Zubair berkata,
“Aku ingin menjadi khalifah.”
‘Urwah menyusul,
“Aku ingin menjadi tempat manusia mengambil ilmu.”
Mush’ab berkata,
“Aku ingin memimpin Irak dan menikahi dua wanita terbaik pada zamanku.”
Lalu Ibnu Umar menutup dengan mimpi yang paling tinggi,
“Aku menginginkan ampunan Allah.”
Imam adz-Dzahabi kemudian mencatat:
“Mereka semua mendapatkan impian mereka dan sangat mungkin Ibnu Umar telah diampuni.”
(Siyar A’lam an-Nubala’ 2/141)
BACA JUGA : Cahaya Solusi Itu Ada pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
Empat orang bermimpi.
Tiga mimpi terlihat oleh manusia.
Satu mimpi hanya Allah yang bisa membuktikan.
Dan semuanya terlaksana.
Mimpi Besar Bukan Angan-Angan Kosong
Kisah ini adalah pesan motivasi yang luar biasa kuat: semua berawal dari mimpi. Tetapi mimpi mereka bukan pelarian. Bukan sekadar angan. Mimpi mereka adalah arah, bukan pelampiasan.
Lihatlah perjalanan Abdullah bin Zubair. Ia tidak pernah mengejar kekuasaan dengan cara kotor. Tidak tergila-gila jabatan. Tidak menghalalkan cara. Ia membangun dirinya terlebih dahulu: iman, keberanian, kemampuan, ibadah, keteguhan.
Sejak muda ia ikut Yarmuk. Ia berjihad di Afrika, Maroko, bahkan Konstantinopel. Ia ahli ilmu, ahli ibadah, ahli berkuda, dan pemberani. Dan di sela hidupnya itulah ia menyimpan mimpinya bukan untuk dipamerkan, tetapi untuk dipelihara.
Ketika kondisi politik berubah dan peluang terbuka, ia tampil bukan karena ambisi, tetapi karena kelayakannya.
Hingga akhirnya, sebagian besar wilayah Islam membaiatnya. Ia menjadi khalifah yang sah berdasarkan penilaian banyak ulama sejarah.
Dan apa yang terjadi?
Saat mimpi Abdullah terwujud, mimpi saudaranya Mush’ab pun ikut terbawa. Ia memimpin Irak, tepat sebagaimana ia ucapkan di Hijr Ismail.
Mengapa Banyak Orang Hari Ini Takut Bermimpi Besar?
Kita hidup di zaman ketika motivasi mudah pudar. Banyak orang bahkan tidak sanggup bermimpi besar. Bukan karena tidak boleh, tapi karena merasa tidak layak.
“Bagaimana bisa? Kemampuanku saja begini.”
“Aku siapa? Modal apa?”
“Aku tidak punya apa-apa.”
Padahal, mimpi itu gratis. Tidak ada biaya. Tidak ada risiko.
Yang membuatnya terasa berat adalah karena kita mengukur masa depan dengan kacamata hari ini. Kita lupa bahwa manusia bisa bertumbuh, bisa belajar, bisa berubah, bisa dikuatkan oleh Allah kapan pun Ia kehendaki.
Orang-orang besar Islam yang kita kagumi juga memulai dari keterbatasan:
ada yang miskin, yatim, tidak terkenal, tidak berasal dari keluarga elite.
Namun mereka punya dua hal yang menjadi pondasi peradaban:
iman dan ilmu.
Iman mereka kuat, ilmu mereka bertambah, dan Allah mengangkat derajat mereka sesuai janji-Nya:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)
Sejarah Adalah Sumber Motivasi Terbaik
Ketika motivasi hidup terasa menurun, saat semangat belajar melemah, saat lelah mengurus keluarga atau membangun masa depan, bacalah sejarah.
Sejarah bukan hanya cerita masa lalu sejarah adalah energi. Ia merayapi dinding hati kita dan menyalakan kembali api semangat yang padam.
Jika hari ini motivasi terasa mahal, maka bukalah sejarah, karena sejarah tidak pernah pelit memberi inspirasi. (*/)
Sumber : Disadur dari Kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri












