TASIKMALAYA – Polemik penetapan empat pulau di perbatasan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) memicu ketegangan antara masyarakat Aceh dan apa yang disebut sebagai “Geng Solo”, kelompok kekuasaan politik yang dinilai mengatur strategi penguasaan wilayah dari pusat.
Empat pulau yang menjadi sengketa itu adalah Pulau Mangkir Besar (Mangkir Gadang), Pulau Mangkir Kecil (Mangkir Ketek), Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Keempatnya sebelumnya masuk wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil, namun kini secara resmi ditetapkan Kemendagri sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3-I), Tom Pasaribu, menyebut langkah tersebut sebagai upaya sistematis yang didalangi oleh elit pusat yang disebutnya sebagai “Geng Solo”, merujuk pada jaringan kekuasaan Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
“Strategi ini dirancang oleh apa yang kami sebut sebagai Geng Solo, dan kini mendapat perlawanan sengit dari rakyat Aceh,” kata Tom dalam keterangan tertulis, Senin, (16/6/2025), dikutip dari rmol.id.
BACA JUGA : Ini Respon Jokowi, Setelah Kader PSI Sebut Dirinya Layak Jadi Nabi
Tom memperingatkan bahwa langkah ini bisa memicu gelombang perlawanan yang lebih luas, seperti yang mulai terlihat di Aceh.
Ia bahkan menyebut gerakan rakyat Aceh sebagai bentuk penolakan terhadap dominasi politik pusat yang dinilai mengabaikan hak-hak wilayah.
Tom mengatakan, sikap yang diambil rakyat Aceh tidak tertutup akan diikuti oleh rakyat Papua, dengan sikap pemerintah yang diam-diam merusak keindahan Raja Ampat.
“Belum lagi oligarki hanya mengeruk kekayaan alam masyarakat Papua,” kata Tom.
Masyarakat Pulau Rempang, lanjut Tom, juga berpeluang melakukan perlawanan serupa. “Masyarakat Pulau Rempang yang sudah berdiam di pulau tersebut sebelum Indonesia merdeka, sekarang diusir pemerintah secara paksa untuk memenuhi keinginan oligarki,” kata Tom. (*)