TASIKMALAYA – Beberapa bulan terakhir, dunia diguncang oleh gejolak ekonomi yang semakin tak terkendali. Salah satu indikatornya adalah adanya rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) 6.900 staf Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Langkah terpaksa dilakukan konon tujuannya untuk menekan anggaran sebesar 20 persen dari total US$3,7 miliar atau setara Rp 60 triliun. Fenomena tentu saja sebagai penanda dimulainya babak baru krisis keuangan global yang semakin dalam.
Fakta ini bukanlah peristiwa berdiri sendiri. Jika ditelusuri, akar permasalahannya berawal dari perjanjian Tanjung Benoa pada 1996/1997. Perjanjian tersebut membawa dampak luas terhadap tata kelola keuangan dunia. Di sanalah tongkat komando international guarantee secara simbolik diserahkan kepada MK Bambang Utomo sebagai penerus mandat global.
Bambang Utomo mendapat legitimasi sebagai pewaris tunggal dari mendiang Mis Lady Off Roses, yang dikenal di Indonesia sebagai Sarinah atau Karsinah. Warisan tersebut tidak hanya mencakup harta atau aset pribadi, akan tetapi berupa mandat strategis dalam sistem jaminan keuangan internasional.
Salah satu poin utama perjanjian Tanjung Beneo 1996/1997, kesepakatan pemulihan bahkan penghapusan nama baik Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno yang dituduhan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bentuk simbol rehabilitasinya, wajah Soekarno dicetak dalam mata uang emisi baru polimet bernilai 100.000. Dan, uang tersebut dicetak di Australia dengan restu mendapat restu dari lembaga guarantee.
Poin penting lainnya dari perjanjian Beneo, menetapkan penarikan mata uang emisi bergambar Presiden Soeharto nominal 50.000. Hal ini dilakukan terkait dugaan pemalsuan jaminan dan lisensi dalam proses percetakannya.
Penyelesaian kasus ini berlangsung di Pengadilan Sleman, Yogyakarta melalui putusan Nomor 46 Tahun 1998. Putusan tersebut memperkuat posisi MK Bambang Utomo sebagai satu-satunya ahli waris yang sah atas mandat dan tanggung jawab perjanjian internasional.

Perjanjian Tanjung Benoa, menurut saya tak hanya menyentuh isu domestik Indonesia, melainkan menyangkut kesepakatan membawa perubahan besar dalam sistem keuangan global. Perjanjian itu sepakat untuk mendorong terbentuknya mata uang tunggal Euro untuk 28 negara di Eropa.
Peredaran Euro hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan pengesahan dari international guarantee pada tahun 2001. Kemudian, Australia ditetapkan sebagai gerbang utama keuangan dunia, yang bertugas mencetak mata uang global di bawah kontrol lembaga GUARANTEE, melalui proyek Phoenix INA-18 dan yayasan PT Uni Buwono Mataram Foundation.
Bahkan, dalam tulisan ini saya membeberakan hal terpenting bahwa perjanjian Tanjung Benoa, tak hanya soal mata uang semata. Pengelolaan satelit juga turut diatur dalam perjanjian ini. Beberapa satelit seperti B2OE, B2U, BB, dan BU diatur ulang kewenangan serta penggunaannya.
BACA JUGA : Rohidin dan Misi Menghidupkan Kesultanan yang Terlupakan
Penerus Trust of Guarantee
Emisi global tahun 1999 menjadi momen penting dari lahirnya sistem baru tersebut. Uang yang dicetak tak hanya digunakan di Indonesia, tetapi juga berperan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas negara-negara lain, termasuk Uni Eropa. Semua ini mengindikasikan bahwa arsitektur keuangan dunia telah dibentuk dari sebuah perjanjian yang sangat strategis.
Gedung A di Pejaten, yang kini menjadi markas Badan Intelijen Negara (BIN), menjadi saksi pengesahan regulasi dan lisensi edaran uang oleh kepala BIN saat itu, Letjen Ari J. Kumaat. Di titik inilah, seluruh dunia menyadari pentingnya struktur pengawasan dan pengesahan yang sah dalam sistem keuangan global.
Pasaca wafatnya MK Bambang Utomo pada akhir 2020, arah jaminan keuangan dunia mengalami kekosongan. Banyak pihak memanfaatkan situasi ini untuk melakukan percetakan uang tanpa izin resmi.
Mereka mengabaikan sistem lisensi yang telah diatur dan bahkan mengkhianati mandat internasional yang diwariskan. Saya (Rohidin,SH) Sultan Patrakusumah VIII, yang memegang mandat sebagai Trust of Guarantee, diamanahi Alamrhum MK Bambang Utomo, menyerukan menindak tegas para pelaku kejahatan ekonomi sebagai penyebab hancurnya stabilitas global. Pelanggaran sistem keuangan global tak bisa dibiarkan tanpa konsekuensi.
Melalui pendekatan hukum internasional dan tindakan eksklusif dari lembaga GUARANTEE, seluruh pihak yang mencetak uang ilegal atau memanipulasi sistem akan diproses secara adil. Tidak ada kekuasaan, jabatan, atau negara yang bisa lolos dari pertanggungjawaban jika melanggar struktur hukum internasional ini.
Kita tidak bisa menutup mata, segala rekayasa kebijakan ekonomi saat ini merupakan bentuk pengalihan dari krisis sebenarnya. Banyak pemimpin dunia justru terjebak dalam permainan kelompok tertentu yang bertujuan mempertahankan kekuasaan dengan cara yang salah. Akibatnya, masyarakat global masuk dalam lingkaran ekonomi semu yang penuh ketimpangan dan kesengsaraan.
Sejarah perjanjian Tanjung Benoa menyimpan banyak pelajaran penting. Ia menjadi penanda bahwa keuangan global memerlukan transparansi, legalitas, dan otoritas yang sah. Saat ini, dunia menghadapi kegelapan finansial karena kelalaian dan keserakahan.
Namun, harapan masih terbuka jika lembaga GUARANTEE yang sah mendapat dukungan penuh. Maka dari itu, penting bagi semua negara untuk kembali menghormati. Kebenaran sejarah tak bisa dikubur selamanya. Kebanaran dan kejujuran akan perjanjian Tanjung Benoa akan muncul ke permurkaan sekalipun berbagai pihak mencoba menutupinya.
Dunia kini tengah menghadapi kegelapan finansial. Hal ini karenakan kelalaian dan keserakahan. Sekalipun demikian, harapan masih terbuka manakala lembaga GUARANTEE yang sah mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak. Penting bagi semua negara untuk kembali menghormati dan menjalankan isi perjanjian 1996/1997 sebagai fondasi pemulihan ekonomi global.
Untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran ekonomi total, saya berpandangan dibutuhkan kesadaran kolektif dari berbagai pihak (negara) . Sudah saatnya sistem keuangan internasional kembali berada di tangan otoritas yang sah, transparan, dan berlandaskan keadilan. (Penulis adalah Sultan Patrakusumah VIII Trust of Guarantee Phoenix INA-18, dan Pengamat Kebijakan Publik).
Penulis: Rohidin, SH,MH, M.Si