TASIKMALAYA — Tujuh bulan setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad SAW mulai menghadapi fase baru perjuangan dakwah Islam. Meski kaum Muslimin belum melakukan peperangan terbuka, tekanan dan ancaman dari kaum Quraisy Makkah terus meningkat. Situasi ini mendorong Rasulullah SAW mengambil langkah strategis untuk melindungi komunitas Muslim yang masih sangat muda saat itu.
Para sejarawan mencatat, Nabi Muhammad SAW telah menyadari bahwa konflik dengan Quraisy tak terelakkan. Namun, izin Allah untuk berperang belum turun. Dalam kondisi tersebut, Rasulullah SAW tidak tinggal diam. Ia memulai langkah-langkah preventif dengan mengirim ekspedisi militer terbatas yang dikenal sebagai Sariyyah, yakni pasukan yang diutus tanpa keikutsertaan langsung Rasulullah SAW.
Sariyyah Pertama Dipimpin Hamzah bin Abdul Muthalib
Mayoritas ahli sejarah sepakat bahwa Sariyyah pertama yang dikirim Rasulullah SAW dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Muthalib RA, paman Nabi yang dikenal sebagai salah satu sahabat paling berani. Pasukan ini hanya terdiri dari 30 orang Muhajirin, namun memiliki misi strategis yang besar.
BACA JUGA : Makna Usia Ideal Menurut Islam, Seperti Apa?
Target Sariyyah ini adalah kafilah dagang Quraisy yang baru kembali dari Syam dan dipimpin oleh Abu Jahal. Kafilah tersebut berjumlah sekitar 300 orang, jauh lebih besar dibandingkan pasukan Muslim.
Pasukan Hamzah bergerak ke arah barat Madinah, menuju kawasan pesisir Laut Merah. Di wilayah Saiful Bahr, kedua rombongan akhirnya saling berhadapan dan bersiap untuk bertempur.
Pertempuran akhirnya tidak terjadi setelah seorang tokoh setempat, Majdi bin Amr al-Juhani, berhasil menengahi kedua pihak. Ia memiliki hubungan baik dengan Quraisy maupun kaum Muslimin, sehingga kedua kelompok sepakat kembali ke wilayah masing-masing tanpa pertumpahan darah.
Meski tampak sederhana dan tanpa pertempuran, Sariyyah ini justru memberikan dampak besar. Quraisy Makkah mengalami keterkejutan dan kecemasan mendalam, khususnya terkait keamanan jalur perdagangan mereka ke Syam.
Jalur tersebut merupakan urat nadi perekonomian Makkah. Ancaman terhadap jalur ini berarti ancaman langsung terhadap stabilitas ekonomi Quraisy.
Kepanikan itu tergambar jelas dari pidato Abu Jahal setibanya di Makkah. Ia memperingatkan kaum Quraisy agar berhati-hati melewati jalur Madinah, karena menurutnya Nabi Muhammad SAW telah mengirim ekspedisi-ekspedisi militer yang berbahaya.
Berita kekhawatiran Quraisy ini sampai ke Madinah dan menjadi bukti bahwa langkah strategis Rasulullah SAW berhasil mengirimkan pesan kuat: kaum Muslimin bukan lagi kelompok lemah dan tak berdaya.
Tiga Peran Penting Sariyyah bagi Kaum Muslimin
Sejarawan Prof. Dr. Akram Dhiya’ al-Umari menjelaskan bahwa Sariyyah-Sariyyah di masa awal Madinah memiliki setidaknya tiga peran strategis utama:
-
Mengancam jalur perdagangan Quraisy ke Syam, yang berdampak langsung pada perekonomian Makkah.
-
Membangun relasi dan perjanjian dengan kabilah sekitar, sekaligus mengurangi potensi dukungan mereka kepada Quraisy.
-
Menunjukkan kekuatan politik dan militer Muslimin di Madinah, khususnya di hadapan komunitas Yahudi dan sisa kaum musyrik.
Pengiriman Sariyyah menunjukkan kecerdasan strategi Rasulullah SAW dalam mengamankan Madinah. Dalam satu langkah, beliau mampu menghadapi tekanan dari Quraisy, mengamankan wilayah sekitar, serta meningkatkan kepercayaan diri kaum Muslimin.
Pemilihan Hamzah bin Abdul Muthalib sebagai pemimpin juga bukan tanpa alasan. Selain dikenal berani, Hamzah memiliki wibawa besar di mata Quraisy, termasuk Abu Jahal yang pernah merasakan langsung keberaniannya.
Pelajaran Sejarah dari Ramadhan Tahun 1 Hijriah
Peristiwa Sariyyah pertama ini terjadi pada Ramadhan tahun 1 Hijriah, saat puasa Ramadhan belum diwajibkan. Namun, sejarah mencatat bahwa Ramadhan sejak awal telah menjadi bulan strategi, kecerdasan, dan penguatan umat.
Sariyyah Hamzah membuktikan bahwa jumlah kecil dengan kualitas dan kepemimpinan yang kuat mampu memberi dampak besar secara psikologis, politik, dan ekonomi.
Peristiwa ini menjadi salah satu fondasi penting bagi kemenangan-kemenangan kaum Muslimin di masa berikutnya, hingga akhirnya Islam berdiri kokoh di Jazirah Arab. (*/)
Sumber : Disadur dari kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri












