TASIKMALAYA – Surat al-Fatihah, surat pembuka sekaligus induk dari seluruh isi al-Qur’an, ternyata menyimpan perintah tersirat yang sering terlupakan yakni perintah untuk belajar sejarah. Padahal surat ini dibaca setiap hari oleh setiap muslim, berulang-ulang, dalam setiap rakaat shalat, namun maknanya sering tidak digali secara mendalam. Termasuk pesan penting terkait sejarah umat manusia di masa lalu.
Setiap hari seorang muslim memohon kepada Allah:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. al-Fatihah: 6)
Ayat berikutnya menjelaskan definisi jalan lurus itu:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat.”
Ayat ini menyebut tiga kelompok manusia, semuanya adalah generasi masa lalu. Di sinilah letak perintah tersirat untuk mempelajari sejarah umat terdahulu: siapa yang diberi nikmat, siapa yang dimurkai, dan siapa yang tersesat.

1. Kelompok yang Diberi Nikmat
Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim menjelaskan bahwa ayat ini diperinci oleh QS An-Nisa: 69–70:
النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ
“Para nabi, ash-shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang salih.”
Ini adalah kelompok yang telah dianugerahi nikmat iman, keteguhan, dan ketaatan. Mereka adalah figur-figur sejarah yang perjalanan hidupnya terekam, menjadi teladan bagi generasi setelahnya.
Artinya, kita diminta untuk mengetahui kisah mereka, agar dapat menempuh jalan lurus sebagaimana mereka menempuhnya. Sejarah menjadi jembatan untuk melihat bagaimana mereka menghadapi ujian, memegang prinsip, dan menjalani hidup dalam ketaatan.
2. Kelompok yang Dimurkai Allah
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa golongan yang dimurkai adalah mereka yang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya. Mereka mengetahui kebenaran, tetapi menolaknya dengan sengaja.
Contoh utama kelompok ini adalah Yahudi, sebagaimana banyak dijelaskan dalam sejarah dan riwayat, termasuk pengakuan tokoh Yahudi sendiri:
“Demi Allah, sungguh kalian tahu bahwa dia (Muhammad) adalah Rasul yang tercantum dalam kitab kalian…”
— Ka’ab bin Asad, pemimpin Bani Quraizhah
Mereka berilmu, namun tidak mau tunduk kepada kebenaran. Di sinilah letak kemurkaan Allah.
Belajar sejarah mereka sangat penting agar kita mengetahui:
-
bagaimana mereka menyembunyikan kebenaran,
-
bagaimana kesalahan mereka berulang,
-
bagaimana ilmu tanpa amal membawa murka Allah.
Dengan mengetahui sejarah mereka, kita terselamatkan dari mengulangi kesalahan yang sama.
3. Kelompok yang Tersesat
Golongan ketiga adalah mereka yang beramal tanpa ilmu. Para ulama menafsirkan bahwa kelompok ini diwakili oleh Nasrani.
Mereka beribadah, namun tanpa petunjuk yang benar, tanpa ilmu yang sahih. Mereka juga menjadikan pemuka agama sebagai pihak yang boleh membuat hukum sendiri—sebuah bentuk kesesatan sebagaimana dijelaskan ayat:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah…” (QS. At-Taubah: 31)
Diperkuat dengan hadits Adi bin Hatim, bahwa ‘ibadah’ itu tidak selalu berbentuk sujud—ketika pemuka agama menghalalkan yang Allah haramkan, dan umat mengikutinya, itulah bentuk penghambaan.
Sejarah merekam bagaimana penyimpangan terjadi, bagaimana kesalahan itu menular, dan bagaimana dampaknya bagi peradaban.
Historis: Inti dari Makna Doa Al-Fatihah
Dari tiga kelompok di atas jelas bahwa untuk mengetahui:
-
siapa orang-orang yang diberi nikmat,
-
siapa kaum yang dimurkai,
-
siapa yang tersesat,
maka seorang muslim harus belajar sejarah.
Tanpa sejarah, kita tidak akan mengenali mereka. Padahal setiap hari kita meminta dijauhkan dari jalan golongan yang salah itu.
Doa yang kita panjatkan berkali-kali:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukkan kami jalan yang lurus.”
hanya akan benar-benar bermakna jika kita memahami peta sejarah umat terdahulu, agar kita tahu jalan mana yang harus diikuti dan jalan mana yang harus dihindari.
Kesimpulan
Surat Al-Fatihah bukan sekadar bacaan wajib dalam shalat, tetapi kompas sejarah yang mengarahkan seorang muslim untuk belajar dari umat masa lalu. Tanpa mempelajari sejarah:
-
kita tidak tahu siapa teladan sejati,
-
kita tidak tahu siapa yang dimurkai Allah,
-
kita tidak tahu siapa yang tersesat,
dan akhirnya kita tidak tahu jalan lurus yang kita minta dalam doa.
Maka menjadi jelas bahwa belajar sejarah adalah bagian dari doa harian kita, bagian dari kewajiban moral seorang muslim, dan bagian dari proses memahami makna terdalam dari Al-Fatihah. (LS)
Sumber: Kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri












