TASIKMALAYA – Bumi pernah diselimuti gelapnya kejahiliyahan. Bukan hanya di Arab, tetapi hampir di seluruh penjuru dunia yang kala itu dipimpin dua imperium besar, Persia dan Romawi. Meski Arab tidak berada di bawah kekuasaan keduanya, kondisi masyarakatnya sama saja: rusak dalam agama, akhlak, ekonomi, dan politik.
Inilah buah dari terputusnya wahyu dan ketiadaan Nabi dan Rasul. Dan sejarah membuktikan di zaman apa pun ketika manusia jauh dari wahyu, maka kekacauan pasti kembali.
Pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, cahaya itu menyapa dunia. Tepatnya di Gua Hira, sebuah gua kecil setinggi 4 dziro’ dan lebar kurang dari 2 dziro’.
Di sanalah awal sejarah baru manusia dimulai.
Menurut Shofiyyurrahman al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiq al-Makhtum, turunnya wahyu pertama terjadi pada:
Senin, 21 Ramadhan, malam hari
Bertepatan dengan 10 Agustus 610 M
Usia Rasul: 40 tahun Qamariyah + 6 bulan 12 hari
Atau 39 tahun Syamsiyah + 3 bulan 2 hari
Peristiwa ini bukan hanya besar, tapi agung—momentum penyelamatan manusia dari reruntuhan kejahiliyahan. Saat manusia kembali menemukan jati dirinya sebagai hamba Allah.
Sebelum wahyu pertama turun, Rasulullah merasakan kegundahan mendalam terhadap kondisi masyarakatnya. Jiwa beliau yang bersih menolak kemusyrikan dan kezaliman. Beban itu menyesakkan, tetapi tanpa jawaban.
BACA JUGA : Cahaya Solusi Itu Ada pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
Kegundahan inilah yang membawa beliau menuju Hira, untuk uzlah—menyendiri, beribadah, dan merenungi keadaan manusia. Dari mulut gua, beliau melihat dua pemandangan:
-
Ke bawah: Ka’bah yang dikotori manusia musyrik
-
Ke atas: Langit biru yang seolah menawarkan solusi
Uzlah ini juga menjadi pembuktian kemurnian jiwa beliau. Walau syariat Nabi terdahulu terkait uzlah telah dihapus, hikmahnya tetap terasa, hati yang bersih membutuhkan momen hening untuk ditata dan disucikan.
Solusi Langit Selalu Ada untuk Para Pendobrak Kegelapan
Siapa pun yang ingin membawa kebaikan harus menguatkan hubungannya dengan Allah. Mustahil memperbaiki masyarakat jika hati sendiri tenggelam dalam kekacauan dunia.
Ada waktu-waktu khusus yang Allah sediakan:
“Sesungguhnya bangun pada waktu malam lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (QS. Al-Muzzammil: 6)
Ramadhan adalah momentum terbaik untuk ini. Hati manusia sedang terbuka. Barangkali butuh bertahun-tahun hingga hidayah benar-benar menetap—tidak masalah, selama proses itu dijalani sejak sekarang.
Rasulullah pun melewati tiga Ramadhan di Gua Hira sebelum wahyu turun.
Dr. Mahmud Muhammad ‘Imarah menjelaskan bahwa uzlah Nabi membentuk kemuliaan jiwa beliau—menjadikannya siap menerima tugas kerasulan. Jiwa yang dipersiapkan untuk mengubah dunia memang butuh memisahkan diri dari hiruk pikuk manusia.
Syekh Munir Ghodhban dalam Fiqh Siroh menegaskan bahwa i‘tikaf adalah pengganti Hira untuk umat Muhammad.
Melalui i‘tikaf, seorang muslim dapat:
-
menyaring kembali logika dan pemikiran
-
membersihkan hati dari kekeruhan dunia
-
memperbaiki niat dan arah perjalanan
-
menguatkan kembali hubungan dengan Allah
Ketika i‘tikaf ditinggalkan, berbagai kegelapan hidup tak kunjung pergi, meski Ramadhan telah dilalui puluhan kali.
Momen Wahyu Turun: Tanda Lahirnya Peradaban Baru
Solusi langit hadir ketika kegundahan hati itu mencapai puncaknya. Iman yang resah di tengah masyarakat jahiliyyah membawa Rasulullah menguatkan hubungan dengan Allah. Dari situlah wahyu pertama turun: QS. Al-‘Alaq 1–5.
Dr. Mahmud Muhammad ‘Imarah menulis:
“Ketika wahyu turun kepada beliau di Gua Hira, manusia seolah dilahirkan kembali.”
Perintah pertama adalah membaca, tanda bahwa kebangkitan umat akan dimulai dari ilmu, dari membaca, dan dari keterhubungan kepada Allah:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu.”
Inilah motivasi baru. Inilah arah baru. Dari sinilah lahir sebuah peradaban yang mengubah dunia. (*/)
Sumber : Disadur dari kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri












