Khazanah

Ibu, Kuatlah! Demi Surga Anakmu: Ketegaran Asma’ binti Abu Bakar saat Melepas Putranya Menuju Syahid

×

Ibu, Kuatlah! Demi Surga Anakmu: Ketegaran Asma’ binti Abu Bakar saat Melepas Putranya Menuju Syahid

Sebarkan artikel ini
Foto: ilustrasi

TASIKMALAYA – Ketika seorang ibu harus memilih antara rasa cinta dan kebenaran, Asma’ binti Abu Bakar memilih iman.

Jumlah pengikut Abdullah bin Zubair kian menyusut. Satu per satu sahabat setianya gugur. Di tengah tekanan pasukan Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, Abdullah bin Zubair diliputi kegelisahan, bukan karena takut mati, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan orang-orang yang masih setia mendampinginya.

Dalam kegundahan itu, ia menemui ibunya, Asma’ binti Abu Bakar, seorang perempuan mulia, putri Ash-Shiddiq, yang kala itu telah berusia hampir 100 tahun dan matanya telah buta. Ia datang bukan untuk mengadu, tetapi untuk bermusyawarah sebuah adab besar seorang anak kepada ibunya.

Abdullah bin Zubair menjelaskan situasi genting yang ia hadapi. Pasukannya kecil, musuhnya besar, dan akhir dari perjuangan ini hampir dapat dipastikan: kematian. Mendengar itu, Asma’ teringat sabda Rasulullah ﷺ yang pernah disampaikan saat kelahiran putranya seakan takdir yang lama disabdakan kini benar-benar tiba.

Namun, dari lisan seorang ibu renta itu tidak keluar ratapan atau permintaan agar sang anak mundur. Justru kalimat tegas penuh iman yang terucap:

“Demi Allah, wahai anakku, engkau lebih tahu tentang dirimu. Jika engkau berada di atas kebenaran dan menyeru kepadanya, teruskanlah. Sahabat-sahabatmu telah gugur demi kebenaran itu. Jangan engkau mau dipermainkan oleh budak-budak Bani Umayyah.”

Lalu ia menambahkan peringatan yang mengguncang hati:

“Tetapi jika engkau hanya menginginkan dunia, engkau adalah seburuk-buruk orang yang mencelakakan dirimu dan orang-orang yang berjuang bersamamu.”

Nasihat ini bukan sekadar kata-kata ibu, melainkan timbangan iman yang jujur dan lurus.

Ketika Seorang Ibu Menguatkan Anaknya Menghadapi Kematian

Abdullah bin Zubair mengungkapkan satu kegelisahan terakhir, kekhawatirannya bahwa Hajjaj akan menyalib dan merusak jasadnya setelah wafat. Jawaban Asma’ sungguh di luar nalar manusia biasa:

“Wahai anakku, sesungguhnya kambing itu tidak merasakan sakit setelah disembelih.”

Kalimat singkat itu menjadi bukti keteguhan iman seorang ibu yang memahami hakikat dunia dan akhirat. Ia lalu memerintahkan putranya agar terus melangkah dan meminta pertolongan hanya kepada Allah.

BACA JUGA : Hudaibiyah dan Pelajaran Kepemimpinan yang Sering Dilupakan Pemimpin Muslim

Yang sebenarnya dikhawatirkan Abdullah bin Zubair sejak awal bukanlah kematian, melainkan perasaan ibunya. Setelah hatinya tenang, Asma’ kembali berdoa dengan penuh keikhlasan:

“Ya Allah, terimalah ibadah malamnya, puasanya di siang hari, dan baktinya kepada orang tuanya. Limpahkan rahmat-Mu kepadanya. Aku serahkan seluruh urusannya kepada-Mu dan aku ridha atas keputusan-Mu.”

Saat mereka berpelukan, Asma’ meraba tubuh putranya dan merasakan baju besi yang dikenakannya. Dengan nada tegas ia berkata:

“Apa-apaan ini, Abdullah? Orang yang memakai ini hanyalah mereka yang tidak menginginkan apa yang sebenarnya engkau inginkan!”

Abdullah bin Zubair pun melepaskan baju besinya. Ia berpamitan dengan salam perpisahan, lalu berangkat bersama sisa pasukannya yang sedikit menghadapi pasukan Hajjaj.

Seperti yang telah diperkirakan, Abdullah bin Zubair gugur sebagai syahid di Tanah Haram Makkah. Hajjaj menyalib dan menyayat jasadnya. Namun Asma’ binti Abu Bakar berdiri tegar di hadapan jasad putranya, tanpa ratapan, tanpa penyesalan hanya doa dan pengharapan ampunan.

Bahkan, beliau sendiri yang memandikan dan mengafani putranya yang syahid.

Pelajaran Besar untuk Umat Hari Ini

Kisah ini mengajarkan bahwa:

  • Cinta ibu sejati tidak menghalangi jalan kebenaran

  • Keteguhan iman seorang ibu dapat melahirkan pahlawan sejati

  • Keikhlasan dalam melepaskan adalah bentuk cinta tertinggi

  • Surga sering kali ditegakkan oleh doa dan ketegaran seorang ibu

Ibu, kuatlah… karena di tanganmu, bisa lahir generasi yang mencintai dunia atau generasi yang memilih surga. (*/)

Sumber : Disadur dari Kitab Arrahiq al-Makhtum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *