Khazanah

Cahaya Solusi Itu Ada pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam

×

Cahaya Solusi Itu Ada pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam

Sebarkan artikel ini
Foto: dok

TASIKMALAYA – Bulan Sya’ban tahun 5 Hijriah. Di sebuah wilayah berjarak sekitar 120 kilometer dari Mekah, pasukan muslim baru saja memenangkan pertempuran melawan Bani Musthaliq. Namun kemenangan itu harus dibayar mahal dengan munculnya konflik internal yang nyaris memicu pertumpahan darah sesama muslim.

Di sumber air al-Muraisi’, dua sahabat — Jahjah al-Ghifari (Muhajirin) dan Sinan bin Wabar al-Juhani (Anshar) — terlibat percekcokan kecil saat mengambil air. Meski sepele, keduanya spontan memanggil kelompok masing-masing. Teriakan “Wahai Anshar!” dan “Wahai Muhajirin!” menggema—yang jika dibiarkan, bisa berubah menjadi benturan kesukuan.

Mereka adalah manusia dengan kelemahan. Usai peperangan yang berat, fisik lelah dan emosi mudah tersulut. Di tengah kondisi itulah muncul percikan masalah yang mengancam keutuhan umat.

Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik yang hadir saat kejadian, justru mengambil kesempatan. Ia melemparkan kalimat kasar dan provokatif kepada pengikutnya:

“Mereka (Muhajirin) itu lari dari negeri mereka, lalu menjadi banyak di negeri kita. Jika kita kembali ke Madinah, yang mulia pasti akan mengusir yang hina!”

Ucapan ini menyebar diam-diam, menciptakan potensi fitnah besar di tubuh kaum muslimin yang sebelumnya bersaudara erat.

Melihat situasi memanas, Umar bin Khattab menawarkan solusi lugas: “Wahai Rasulullah, bunuh saja Abdullah bin Ubay!”

Namun Rasulullah menolak. Sebab jika Abdullah bin Ubay dibunuh, akan tersebar anggapan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri. Fitnah baru akan lahir.

BACA JUGA : Sejarah sebagai Cahaya Inspirasi: Menyelami Hikmah dari Surat Al-Hasyr dan Siroh Nabawiyyah

Lalu bagaimana Rasulullah menyelesaikan konflik berbahaya itu?

5 Strategi Nabi Meredam Konflik Bani Musthaliq yang Layak Jadi Rujukan Manajemen Krisis

1. Menutup Akses Penyebaran Provokasi

Rasul tidak menyebarkan ucapan provokatif itu. Walau Zaid bin Arqam telah melaporkannya, Nabi memilih meredam informasi agar tidak memicu kerusuhan lebih besar. Bahkan sahabat besar seperti Usaid bin Hudhair pun tidak mengetahui detailnya.

2. Mengeluarkan Kalimat Tegas untuk Memutus Fanatisme Suku

Rasulullah hanya berkata:

“Apakah kalian menyerukan slogan jahiliyyah sementara aku masih di tengah kalian?”

Kalimat singkat namun kuat, yang mengingatkan mereka pada identitas utama sebagai muslim, bukan suku.

3. Memindahkan Pasukan dari Lokasi Konflik

Lokasi sering menyimpan memori emosional. Karena itu Nabi memerintahkan seluruh pasukan segera berangkat pulang. Ini strategi psikologis: menjauhkan mereka dari tempat yang memicu ketegangan.

4. Melelahkan Fisik Agar Tak Ada Ruang Memperbesar Fitnah

Pasukan diperintahkan berjalan tanpa istirahat selama hampir 24 jam. Mereka begitu letih hingga tak sempat memperpanjang isu.

5. Turunnya Surat al-Munafiqun sebagai Penutup Fitnah

Setelah kondisi benar-benar reda, Allah menurunkan surat al-Munafiqun yang mengungkap sumber fitnah. Pada tahap ini, masyarakat sudah jernih. Tidak ada lagi pertentangan terhadap isi wahyu.

Rasul kemudian berkata kepada Umar:

“Jika aku membunuhnya saat kau usul, tentu akan muncul fanatisme golongan. Tetapi jika aku memerintahkannya sekarang, pasti ia akan dibunuh.”

Umar pun mengakui: “Urusan Rasulullah lebih berkah daripada urusanku.”

Rasulullah pernah menyelesaikan sengketa air antara Zubair dan seorang Anshar. Namun karena:

  • tidak ada peran munafik,

  • tidak terjadi setelah peperangan,

  • skala konflik kecil dan tidak meluas,

maka penyelesaiannya cukup dengan memutuskan hukum secara langsung. Ketika orang Anshar itu menolak keputusan, barulah Nabi menetapkan keputusan lebih tegas.

Berbeda dengan konflik Bani Musthaliq yang berskala besar, melibatkan trauma perang, dan memiliki pihak provokator, maka strategi Nabi lebih bertahap, halus, dan sangat strategis.

Pelajaran Besar

Islam sudah memberi teladan penyelesaian konflik yang ilmiah, psikologis, sekaligus spiritual.

Rasulullah mengajarkan bahwa:

  • tidak semua masalah harus langsung dihadapi secara frontal,

  • kadang yang dibutuhkan adalah meredakan emosi dulu,

  • baru setelah itu menunjukkan kebenaran.

Solusi-solusi di luar Islam telah runtuh. Tetapi solusi Rasulullah justru semakin terang, menjadi cahaya yang memandu umat hingga kini. (*/)

Sumber : Disadur dari Kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *