Politik

Dua Kali PSU, Cerita Politik Uang dan Harapan Baru di Barito Utara

×

Dua Kali PSU, Cerita Politik Uang dan Harapan Baru di Barito Utara

Sebarkan artikel ini
Foto/Ilustrasi/Net

TASIKMALAYA – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Barito Utara mencatat sejarah kelam dalam praktik demokrasi lokal. Untuk pertama kalinya, pemungutan suara ulang (PSU) harus digelar dua kali berturut-turut akibat terbuktinya politik uang oleh kedua pasangan calon (paslon) yang bertarung dalam Pilkada 2024.

Mahkamah Konstitusi (MK), dalam sidang putusan yang digelar pada 14 Mei 2025, menyatakan diskualifikasi terhadap Paslon Nomor Urut 1 dan 2, menyusul bukti kuat adanya praktik politik uang yang dinilai dilakukan secara masif dan terstruktur.

“Tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan diskualifikasi,” ujar Hakim MK Guntur Hamzah, menegaskan bahwa praktik tersebut telah mencederai demokrasi dan tidak dapat ditoleransi.

Dengan vonis itu, Kabupaten Barito Utara diperintahkan untuk menyelenggarakan pilkada ulang dari nol, termasuk pencalonan baru. PSU lanjutan dijadwalkan pada 6 Agustus 2025 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pilkada yang seharusnya menjadi ajang pembuktian kualitas kepemimpinan justru menjadi cermin kerapuhan integritas demokrasi.

Politik uang yang dilakukan oleh kedua paslon menggambarkan masalah sistemik dalam kontestasi politik lokal.

Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa budaya transaksional telah merasuki sistem politik daerah, dan pemilih rentan terjebak dalam relasi politik yang tidak sehat.

Lebih dari sekadar pelanggaran etik, politik uang telah menggerus kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi itu sendiri.

BACA JUGA : MK Diskualifikasi Seluruh Paslon di Pilkada Barito Utara Gara-gara Politik Uang

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) turut memberikan catatan kritis kepada Pemerintah Kabupaten Barito Utara. Dalam arahannya, Mendagri meminta pemerintah daerah menjaga stabilitas dan keamanan politik, serta mendorong tokoh masyarakat untuk memperkuat kerukunan sosial.

“Apa pun keadaannya, proses demokrasi ini bertujuan untuk menghasilkan pemimpin yang sah dan dipercaya. Maka yang utama adalah menjaga kerukunan dan tidak memperkeruh suasana,” ujar Mukhlis, Sekretaris Daerah sekaligus mantan Pj Bupati Barito Utara, seperti dikutip kompascom.

Kasus Barito Utara menjadi peringatan nasional bahwa demokrasi lokal tidak hanya membutuhkan infrastruktur pemilu, tetapi juga kualitas moral dan integritas dari para aktor politik.

Reformasi politik di tingkat lokal menjadi keniscayaan, termasuk:

  • Pendidikan politik yang lebih intensif bagi masyarakat.

  • Penegakan hukum pemilu yang konsisten.

  • Peningkatan pengawasan oleh Bawaslu dan partisipasi aktif masyarakat sipil.

Kemendagri pun berpesan, bahwa Pilkada Barito Utara bukan sekadar agenda ulang pemilu, melainkan cerminan bahwa demokrasi bisa terancam jika integritas menjadi barang langka.

Perlu lebih dari sekadar regulasi, dibutuhkan budaya politik yang sehat dan kepemimpinan yang jujur agar demokrasi tidak hanya hidup dalam prosedur, tetapi juga dalam nilai-nilai luhur. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *