TASIKMALAYA – Layanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD KHZ Musthafa Kabupaten Tasikmalaya nyaris tak pernah sepi. Sebagai rumah sakit rujukan utama di wilayah Priangan Timur, intensitas keluar-masuk pasien setiap hari begitu tinggi. Situasi ini menyebabkan ruang IGD kerap dipadati pasien, melebihi kapasitas ideal.
Kepadatan tersebut bukan tanpa konsekuensi. Terbatasnya jumlah brankar dan ruangan rawat inap menjadi tantangan serius dalam manajemen layanan darurat di rumah sakit pelat merah itu.
“Kami menyadari masih ada beberapa keterbatasan. Namun, sejauh ini kondisi tersebut belum terlalu mengganggu aktivitas utama kami dalam pelayanan terhadap pasien,” ujar dr. Adi Widodo, M.KM, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan RSUD KHZ Musthafa, Kamis (7/8/2025).
Ruang Transit di Lantai 3
Sebagai bentuk solusi, manajemen RSUD kini menyiapkan ruang transit di lantai 3 dengan kapasitas 23 tempat tidur. Ruang ini difungsikan untuk menampung pasien pasca penanganan darurat yang belum bisa langsung masuk ke ruang rawat inap.
BACA JUGA : Revitalisasi Sekolah di Tasikmalaya Dikawal Ketat Kejaksaan dan Kepolisian: Mutu Pendidikan Jadi Taruhan
“Ruang transit kami siapkan untuk pasien yang sudah mendapatkan penanganan kedaruratan dan telah diindikasikan perlu rawat inap, tapi kamar rawat inap belum tersedia,” jelas dr. Adi.
Menurutnya, ruang transit menjadi tempat sementara sembari menunggu persetujuan dari pihak keluarga, kesiapan rumah sakit rujukan lainnya, atau tersedianya kamar inap yang sesuai dengan kondisi medis pasien. Selama berada di ruang tersebut, pasien tetap mendapatkan pemantauan dari tim medis.
“Kalau kondisi pasien memburuk, kami bisa segera pindahkan kembali ke ruang IGD untuk tindakan lebih lanjut,” tambahnya.
Persoalan Rujukan dan Brankar
Tak hanya untuk pasien rawat inap, ruang transit juga disiapkan untuk pasien yang perlu dirujuk ke rumah sakit lain. Namun, dr. Adi mengakui proses rujukan tidak selalu berjalan mulus.
“Beberapa rumah sakit tujuan seringkali menolak rujukan kami karena alasan tertentu. Akibatnya, ada anggapan kami lamban atau menelantarkan pasien, padahal kami sedang berusaha mencari rumah sakit yang mau menerima,” ungkapnya.
Ia menekankan pentingnya pemahaman masyarakat terkait prosedur alur rujukan, termasuk perlunya konfirmasi ketersediaan layanan dan tempat tidur di rumah sakit tujuan sebelum proses pemindahan dilakukan.
Selain itu, persoalan keterbatasan brankar juga sering memicu kesalahpahaman. Ada kalanya keluarga pasien mempertanyakan brankar yang tampak kosong, padahal brankar tersebut sudah dipersiapkan untuk pasien lain yang sedang dalam perjalanan melalui Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).
“Situasi seperti ini membutuhkan pengertian dari pihak keluarga pasien. Semua brankar kami atur sesuai urgensi penanganan dan sistem yang sedang berjalan,” tegasnya.
Papan Informasi vs Penilaian Medis
Satu lagi masalah klasik yang kerap terjadi adalah perbedaan persepsi antara informasi ketersediaan ruang rawat inap yang tertera di papan informasi rumah sakit, dengan pernyataan petugas yang menyatakan kamar penuh.
Menurut dr. Adi, perlu dipahami bahwa kamar rawat inap tidak bisa ditentukan hanya berdasarkan permintaan pasien atau keluarga. Penempatan pasien dilakukan melalui penilaian medis, mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit, jenis kebutuhan alat, serta pengawasan medis yang dibutuhkan.
“Papan informasi hanya menampilkan ruang secara umum. Tapi siapa yang bisa menempati, itu ditentukan oleh dokter berdasarkan kondisi medis,” pungkasnya.
Dengan berbagai dinamika yang terjadi di lapangan, RSUD KHZ Musthafa berharap masyarakat dapat lebih memahami kompleksitas layanan darurat dan rawat inap di rumah sakit. Pihaknya terus berkomitmen untuk menciptakan solusi terbaik dan meningkatkan kualitas layanan demi keselamatan dan kenyamanan pasien. (rzm)