TASIKMALAYAKU.ID – Pagi itu, Jumat 25 April 2025, tanah di lereng pesantren Pondok Modern Darussalam Gontor Kampus 5 Darul Qiyam, Magelang, Jawa Tengah, tak lagi stabil.
Longsor datang diam-diam namun mematikan. Tandon air di lingkungan pondok runtuh, menambah parah kehancuran. Suasana yang biasanya diisi suara lantunan hafalan dan aktivitas santri berubah menjadi kepanikan dan tangis.
Empat nyawa santri tak terselamatkan. Enam belas lainnya harus menjalani perawatan di rumah sakit, sembilan lainnya rawat jalan. Namun luka yang menganga bukan hanya di tubuh—jiwa para santri juga terguncang hebat.
Hari-hari setelah bencana, pihak pesantren mengambil langkah cepat. Mereka sadar, pemulihan fisik saja tidak cukup. Perlu ada upaya serius untuk mengobati trauma yang menyelinap di balik diam dan senyum para santri.
“Kami tak ingin para santri membawa luka batin ini dalam diam. Karena itu kami gerakkan program trauma healing,” ujar Mustar, guru senior di Pondok Gontor Kampus 5, saat ditemui di sela kegiatan terapi, beberapa hari setelah kejadian.
Baca juga : https://tasikmalayaku.id/dari-bencana-ke-harapan-negara-hadir-di-gontor-magelang/
Kegiatan ini bukan sekadar menghibur. Mustar menjelaskan bahwa pendekatannya dirancang secara sistematis—berbasis nilai-nilai pendidikan khas Gontor, dan dipantau oleh para profesional.
“Kami tidak sendiri. Kami berkonsultasi dengan alumni Gontor yang kini aktif di dunia psikoterapi. Kami ingin kegiatan ini berdampak nyata bagi jiwa santri,” ungkapnya.
Di lapangan terbuka pesantren, suasana kini perlahan berubah. Santri-santri yang sebelumnya terpukul kini kembali terdengar tertawa kecil. Mereka menyanyi bersama, bermain permainan tim, dan mengikuti kegiatan outbound yang bertujuan mengembalikan kepercayaan diri dan kebersamaan.
“Gerakan fisik penting, bukan hanya untuk jasmani tapi juga rohani. Kami ingin mereka sehat sepenuhnya—jiwa dan raga,” tambah Mustar dilansir dari antaranews.
Dalam suasana pondok yang mulai pulih, trauma healing bukan hanya alat penyembuh—ia menjadi simbol harapan. Sebuah langkah kecil namun bermakna untuk membawa para santri kembali berdiri tegak, melanjutkan cita-cita, dan menatap masa depan dengan hati yang lebih kuat.
Tragedi itu memang meninggalkan duka. Namun dari balik reruntuhan, tumbuh pula pelajaran penting: bahwa pendidikan sejati bukan hanya membangun kecerdasan, tetapi juga kekuatan jiwa dalam menghadapi musibah. (*)