TASIKMALAYA – Serapan anggaran Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya hingga pertengahan Desember 2025 masih tergolong rendah. Data Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) mencatat realisasi belanja daerah baru mencapai 82,2 persen, atau sebesar Rp2,87 triliun dari total pagu APBD Rp3,49 triliun.
Artinya, masih terdapat sisa anggaran Rp621,29 miliar atau sekitar 17,8 persen yang belum terserap, meski tahun anggaran 2025 tinggal hitungan hari.
Berdasarkan data BPKPD per 12 Desember 2025, sejumlah SKPD mencatatkan serapan relatif tinggi, di antaranya Badan Kesbangpol dengan realisasi 95,8 persen, Satpol PP 92 persen, BPKPD 91,7 persen, serta Disparpora 91,5 persen.
Namun, beberapa perangkat daerah strategis justru menunjukkan serapan yang rendah. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan baru menyerap 81,7 persen dari pagu Rp1,32 triliun, menyisakan anggaran Rp242,23 miliar. Sementara Dinas Kesehatan merealisasikan 78,4 persen dari pagu Rp697,49 miliar, dengan sisa anggaran Rp150,82 miliar.
Kondisi paling memprihatinkan terjadi di Dinas Pekerjaan Umum, Tata Ruang, Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup (DPUTRLH). Dari pagu Rp140,24 miliar, realisasi belanja baru mencapai Rp65,93 miliar atau sekitar 47 persen, sehingga masih tersisa Rp74,30 miliar.
BACA JUGA : Wamendikdasmen Resmikan Revitalisasi Pendidikan di Tasikmalaya, Tekankan Sinergi Pusat–Daerah
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Nanang Romli, menilai rendahnya serapan anggaran menjadi cerminan lemahnya perencanaan dan buruknya manajemen pelaksanaan anggaran di lingkungan Pemkab Tasikmalaya.
“Waktu tahun anggaran tinggal hitungan jari, tapi serapan masih rendah. Ini akibat perencanaan yang bobrok dan kebijakan cut off anggaran yang diberlakukan hingga Oktober 2025,” ujar Nanang.
Ia menegaskan, rendahnya serapan belanja, terutama belanja modal dan infrastruktur berdampak langsung pada perlambatan pertumbuhan ekonomi daerah.
“Ketika anggaran tidak terserap, daya beli masyarakat melemah, pelayanan publik menurun, dan risiko pengangguran meningkat. Uang rakyat justru mengendap di perbankan, padahal seharusnya hadir dalam bentuk jalan yang layak, layanan pendidikan dan kesehatan yang optimal, serta pemenuhan standar pelayanan minimal,” tegasnya.
Nanang mengingatkan, jika persoalan ini terus dibiarkan, kepercayaan publik terhadap tata kelola pemerintahan daerah akan semakin tergerus.
“APBD seharusnya menjadi alat percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, bukan simbol kegagalan perencanaan dan eksekusi kebijakan,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tasikmalaya Ami Fahmi menilai rendahnya serapan anggaran merupakan akumulasi dari berbagai persoalan mendasar dalam tata kelola pemerintahan.
Ia menyoroti kebijakan cut off anggaran yang diberlakukan Bupati Tasikmalaya Cecep Nurul Yakin dengan alasan efisiensi dan evaluasi menjelang APBD Perubahan, sebagai salah satu faktor penghambat realisasi belanja daerah. (LS)












