TASIKMALAYA – Fenomena mencuat di kalangan tenaga pendidik, khususnya guru perempuan, yang mengajukan gugatan cerai setelah diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Hingga awal Agustus 2025, tercatat sedikitnya 20 guru perempuan yang mengajukan izin cerai, angka yang sudah melebihi total kasus sepanjang tahun 2024 yang berjumlah 15 kasus.
Mayoritas gugatan berasal dari pihak istri, yakni sekitar 75%, dan umumnya berasal dari kalangan guru perempuan yang telah menjalani pernikahan selama lebih dari lima tahun. Meningkatnya tren ini pun memantik perhatian publik serta para akademisi.
Salah satunya adalah Arin Setyowati, dosen dan pakar ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya). Ia menilai bahwa fenomena ini tidak bisa dilihat semata-mata dari aspek individual, tetapi perlu ditelaah melalui kacamata struktural, khususnya terkait kemandirian finansial perempuan.
“Sebelum diangkat sebagai PPPK, banyak guru perempuan masih berstatus honorer dengan penghasilan yang sangat minim. Setelah diangkat, penghasilan mereka meningkat signifikan, antara Rp2,5 hingga Rp4,5 juta per bulan. Status kerja yang lebih stabil memberi mereka posisi tawar baru, termasuk dalam relasi pernikahan,” ujar Arin, dikutip dari laman resmi UM Surabaya, dari detik.com, (3/8/2025).
Namun, menurut Arin, peningkatan penghasilan ini seringkali tidak diiringi dengan penyesuaian peran dan ekspektasi dalam rumah tangga. Ketimpangan relasi kerap muncul, terutama ketika suami bekerja di sektor informal atau memiliki pendapatan lebih rendah.
“Profesi guru itu sangat menuntut, mengajar, menyusun administrasi, dan tugas tambahan di luar kelas. Bila di rumah pun mereka harus memikul beban ganda tanpa dukungan yang cukup, kelelahan fisik dan mental dapat memicu konflik rumah tangga,” jelas Arin.
Fenomena ini tidak hanya terjadi secara sporadis, melainkan menunjukkan pola serupa di berbagai daerah. Di Cianjur, misalnya, dari 32 Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mengajukan gugatan cerai pada semester pertama 2025, sebanyak 27 di antaranya adalah perempuan. Sementara di Wonogiri, dari 20 ASN yang bercerai, mayoritas juga berasal dari kalangan guru.
Arin pun menegaskan bahwa peningkatan pendapatan bukanlah akar persoalan, melainkan faktor yang membuka ruang bagi perempuan untuk membuat keputusan yang sebelumnya tertunda karena keterbatasan ekonomi.
“Ini bukan soal istri yang lupa diri setelah merasa mapan. Masalahnya adalah relasi pernikahan yang gagal beradaptasi dengan perubahan situasi ekonomi. Uang bukan penyebab utama konflik, tapi katalis yang memperjelas ketimpangan dan ketidakadilan yang telah lama ada dalam rumah tangga,” tegasnya.
Menghadapi realita ini, Arin mendorong pemerintah daerah serta institusi pendidikan untuk tidak tinggal diam. Ia mengusulkan agar ada program konseling pranikah dan pascanikah khusus bagi ASN/PPPK, pelatihan manajemen keuangan keluarga, hingga penguatan nilai-nilai keluarga sakinah di lingkungan kerja.
Di sisi lain, masyarakat juga diminta untuk lebih bijak dalam menyikapi fenomena ini. Menurut Arin, stigma terhadap perempuan yang menggugat cerai setelah mendapatkan kestabilan ekonomi harus diubah.
“Kita perlu berhenti menyalahkan dan mulai memahami. Ini bukan semata soal ego atau perubahan sikap, melainkan persoalan yang lebih dalam: ketidaksetaraan peran, beban ganda, dan komunikasi rumah tangga yang tak berjalan sehat,” tutupnya. (LS)