TASIKMALAYA – Jumlah utang pemerintah Indonesia terus membengkak dan kini menembus angka Rp 9.105,09 triliun per akhir April 2025. Kenaikan ini menandai laju penambahan utang yang semakin cepat dalam beberapa tahun terakhir, memunculkan kekhawatiran akan keberlanjutan fiskal di masa mendatang.
Posisi ini merupakan akumulasi dari utang pada akhir Desember 2024 yang tercatat sebesar Rp 8.801,09 triliun, ditambah penarikan utang baru sebesar Rp 304 triliun dalam kurun waktu empat bulan pertama tahun 2025.
Ekonom Indef, Muhammad Rizal Taufikurahman, menilai bahwa angka utang yang terus melonjak ini mendorong rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mendekati ambang 40%. Meski masih di bawah batas maksimum 60% sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara, tren ini dinilai mengarah pada kenaikan utang yang agresif dan berisiko.
“Masalahnya bukan cuma di besarannya, tapi kecepatan kenaikannya. Ini yang harus diwaspadai,” ujar Rizal, seperti dikutip kontan, (1/6/2025).
BACA JUGA : Gaji ke-13 Pensiunan ASN/PNS Cair Mulai 2 Juni 2025, Berikut Rincian Gajinya!
Ia menambahkan bahwa pengelolaan utang harus benar-benar diarahkan untuk hal-hal produktif.
Bila utang hanya digunakan untuk menutupi defisit jangka pendek tanpa menciptakan nilai tambah bagi perekonomian nasional, maka pemerintah hanya akan mewariskan beban fiskal ke generasi mendatang.
Selain itu, pemerintah juga menghadapi tekanan dari sisi pembiayaan. Pada Juni 2025, terdapat kewajiban pembayaran utang jatuh tempo sebesar Rp 179 triliun.
Kondisi ini mempersempit ruang fiskal pemerintah dan menambah tekanan pada APBN di tengah belum optimalnya penerimaan negara.
“Utang yang menumpuk, apalagi jangka pendek, bisa jadi beban berat jika tidak dibarengi penerimaan yang memadai. Risiko nilai tukar dan suku bunga global tetap perlu diperhitungkan dengan cermat,” tegas Rizal.
Dengan total populasi Indonesia yang diperkirakan mencapai 284 juta jiwa, beban utang secara teoritis mencapai sekitar Rp 32,1 juta per orang.
Rizal menekankan bahwa angka ini memang tidak berarti rakyat harus langsung membayar, namun menunjukkan seberapa besar beban fiskal yang sedang ditanggung negara.
Rizal mengingatkan, pemerintah tidak bisa terus mengandalkan utang sebagai solusi fiskal jangka pendek. Tanpa upaya memperkuat basis penerimaan negara dan meningkatkan efisiensi belanja, utang yang terus melambung hanya akan memperlemah ketahanan ekonomi nasional. (*)