
TASIKMALAYA – Strategi militer selalu lahir dari rahim politik. Sejarah membuktikan, penguasa memakai strategi ini bukan semata untuk mempertahankan negara, melainkan sebagai cara untuk mengokohkan kekuasaan. Seni dan ilmu peperangan seharusnya diarahkan demi kepentingan nasional. Namun, realitas menunjukkan lain. Penguasa sering menjadikan strategi militer sebagai instrumen represi. Saat rakyat menuntut keadilan, strategi perang malah berubah menjadi tameng bagi kekuasaan.
Setiap strategi, tak terkecuali strategi militer, berakar pada tujuan. Idealnya, tujuan nasional menekankan perdamaian, tetapi penguasa menekankan kemenangan demi mempertahankan legitimasi. Mereka menargetkan penghancuran musuh, baik secara fisik maupun psikologis. Narasi “membela negara” akhirnya bergeser menjadi propaganda untuk membungkam perlawanan rakyat. Dengan begitu, tujuan strategi bukan lagi menjaga kedaulatan, melainkan memperpanjang umur kekuasaan.
Penguasa lebih suka ofensif ketimbang defensif. Serangan dianggap sebagai simbol dominasi. Tindakan represif terhadap oposisi, pembungkaman media, hingga kriminalisasi aktivis memperlihatkan pola ofensif. Seperti halnya militer yang mengepung musuh, penguasa juga mengepung warganya dengan aturan, aparat, dan propaganda. Padahal, strategi ofensif seharusnya diarahkan kepada ancaman eksternal, bukan rakyat sendiri.
Sentralisasi Kekuasaan
Prinsip komando tunggal sangat menggoda bagi penguasa otoriter. Semua instruksi mengalir dari satu pusat ke semua lini, dan semuanya harus tunduk. Dalam konteks politik hari ini, prinsip itu diwujudkan dalam sentralisasi kekuasaan pada satu figur. Lembaga negara hanya berperan sebagai eksekutor, bukan pengawas. Sentralisasi ini menyingkirkan check and balance, lalu menggiring demokrasi menuju monarki terselubung.
Strategi militer mengajarkan penggunaan massa untuk menekan lawan. Penguasa kemudian mengadopsi logika ini dengan menciptakan mobilisasi massa buatan. Mereka memanfaatkan birokrasi, organisasi masyarakat, hingga buzzer digital. Ekonomi kekuatan pun dipakai untuk menguras sumber daya demi menjaga stabilitas kekuasaan, bukan kesejahteraan rakyat. Rakyat diarahkan sebagai pion, sementara elite menyedot keuntungan.
Penguasa gemar bermanuver. Aliansi politik bergeser, hukum berubah sesuai kepentingan, dan kebijakan muncul tiba-tiba sebagai kejutan. Pola ini mencerminkan seni manuver militer. Rakyat akhirnya hidup dalam ketidakpastian karena strategi penguasa selalu berubah-ubah. Alih-alih melindungi bangsa, manuver kekuasaan malah melumpuhkan kepercayaan publik.
Setiap penguasa selalu menekankan keamanan. Namun, keamanan yang mereka maksud bukan keamanan rakyat, melainkan keamanan takhta. Aparat dikerahkan bukan untuk menjaga warga, melainkan untuk mengamankan penguasa. Prinsip kesederhanaan dalam strategi militer pun berubah menjadi penyederhanaan kritik: siapa pun yang berbeda dianggap musuh negara.
Moral prajurit selalu menjadi pilar dalam strategi militer. Penguasa lalu merekayasa moral publik melalui propaganda. Media diarahkan untuk membangun narasi heroik seputar penguasa. Administrasi negara dipakai sebagai mesin pengendali: data warga dimanfaatkan, aturan dipelintir, dan birokrasi dijadikan benteng kekuasaan. Dalam praktik ini, rakyat kehilangan ruang kendali.
Cermin Rezim Hari Ini
Penguasa mempraktikkan taktik ofensif dengan melakukan pengejaran politik terhadap lawan. Mereka juga menguasai ruang digital melalui buzzer dan algoritma media sosial. Pada saat yang sama, mereka menggunakan taktik defensif dengan menciptakan benteng hukum, memperkuat aparat, serta membangun narasi korban untuk menutupi kesalahan. Pola ini membuat kekuasaan bertahan meskipun legitimasi terus merosot.
Militer mengenal operasi jalur interior, di mana kekuatan kecil bergerak untuk menghantam lawan secara terpisah. Penguasa meniru pola ini dengan politik pecah belah. Rakyat dipisahkan dalam kubu agama, etnis, hingga ideologi. Selama masyarakat terbelah, kekuasaan tetap kokoh. Alih-alih memperkuat persatuan, strategi pecah belah justru memperlemah bangsa.
Penguasa menggunakan envelopment atau pengepungan politik. Oposisi dikepung melalui tekanan hukum, tekanan ekonomi, hingga stigma sosial. Mereka juga memakai penetrasi frontal lewat kebijakan yang menghantam langsung kepentingan rakyat, seperti kenaikan pajak atau harga energi. Gerakan memutar dilakukan dengan mengalihkan isu. Setiap taktik militer diterjemahkan menjadi pola kontrol politik.
Dalam militer, pertahanan digunakan saat kekuatan ofensif melemah. Penguasa pun melakukan hal yang sama. Ketika tekanan publik meningkat, mereka menutup diri, membatasi informasi, dan menciptakan ilusi stabilitas. Pertahanan seluler, pertahanan perimeter, hingga pertahanan mendalam menjadi metafora dari cara penguasa mengunci akses kritik. Pertahanan bukan untuk bangsa, melainkan untuk mempertahankan singgasana.
Penguasa juga mengadopsi operasi khusus. Mereka melakukan operasi udara melalui propaganda media, operasi amfibi melalui infiltrasi lembaga sipil, serta operasi urban melalui penguasaan ruang kota.
Strategi militer idealnya digunakan untuk melindungi bangsa, bukan sebagai alat penindas penguasa. Penguasa dengan strateginya bebas melakukan berbagai manuver untuk memperkuat kekuasaan. Dalam hal ini, rakyat terjebak dalam perang tanpa senjata. Perang yang dilancarkan penguasa tiada lain untuk menghantam bangsanya sendiri. Pada saat strategi militer diselewengkan, demokrasi mati perlahan. Dalam konteks ini, kita sadar bahwa melawan hegemoni berarti kita berjihad merebut kembali makna sesungguhnya strategi: menjaga bangsa, bukan menjaga takhta.