Ekonomi

Rantai Pengikat Rakyat Berbalut Kebijakan

×

Rantai Pengikat Rakyat Berbalut Kebijakan

Sebarkan artikel ini
Foto/Net

TASIKMALAYAKU.ID – Baru-baru ini Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengumumkan peluncuran Program Koperasi Merah Putih. Dalam narasinya Zulkifli Hasan yang akrab disapa Zulhas mengungkapkan bahwa kehadiran Koperasi Merah Putih pada prinsipnya dapat memperkuat ekonomi desa melalui pinjaman lunak senilai Rp550 triliun yang sudah siap digelontorkan melalui koperasi di seluruh Indonesia.

Program pinjaman lunak berbendera koperasi tentu saja menuai pro dan kontra. Bagi kubu yang pro gebrakan Zulhas sebagai representasi pemerintahan Prabowo memandang sebagai langkah strategis untuk menggerakkan ekonomi rakyat kecil. Di pihak lain,  beberapa pengamat termasuk Sultan Patrakusumah VIII menilai  program tersebut sebagai bentuk jebakan ekonomi baru.

Kritik pedas Sultan, sebagai pengamat kebijakan publik sangatlah wajar dan logis. Pasalnya, di balik penyaluran dana tersebut, pemerintah pun sudah menyertai bahkan menetapkan bunga, tenggat waktu dan  mekanisme pelunasan. Hal ini dalam pandangan saya berpotensi melahirkan kekhawatiran yang tidak menutup kemungkinan berisiko menjerat rakyat kecil dalam utang jangka panjang. Pemerintah dalam persoalan ini tidak lagi menjalankan fungsi sebagai aktor pelindung, melainkan berperan sebagai aktor pengusaha yang memperlakukan rakyat sebagai nasabah pinjaman.

Pemerintah dalam konteks pinjaman lunak melalui Koperasi Merah Putih pada prinsipnya sudah mengubah peran dari aktor pengatur menjadi aktor (pemain). Padahal, pemerintah seharusnya menciptakan sistem yang memperkuat rakyat, bukan sistem yang memperdagangkan kesulitan mereka. Untuk itu, melalui tulisan ini saya berpendapat bahwa negara kini tidak hanya sebagai aktor yang membuat kebijakan, tetapi sudah memosisikan diri sebagai pelaku usaha pembiayaan.

Pemerintah alih-alih memperluas bantuan sosial, melainkan lebh memilih menyalurkan pinjaman berbunga melalui koperasi. Langkah inilah  pada prinsipnya turut mengaburkan batas antara kebijakan publik dan kepentingan ekonomi. Manakala  negara hadir bahkan ikut bermain dalam wilayah bisnis, maka rakyat tidak lagi melihat negara sebagai pelindung, melainkan sebagai penagih.

Pinjaman Lunak atau Perangkap Ekonomi?

Program pinjaman lunak dari pemerintah  memang menawarkan skema lunak. Namun, di balik kelunakan itu, tersimpan kekerasan kepada rakyat yang diwajibkan membayar cicilan dan bunga setiap bulan. Banyak masyarakat yang belum memiliki pemahaman tentang sistem keuangan modern. Mereka hanya melihat nominal pinjaman, tanpa mempertimbangkan risiko yang tersembunyi di balik semuanya.

Koperasi negara tidak jauh berbeda dengan rentenir. Jika pemerintah menagih utang kepada rakyat tanpa memberikan perlindungan yang setara. Rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar malah harus mengatur arus kas rumah tangga demi membayar cicilan bulanan. Jika negara ingin hadir untuk membantu perekonomian masyarakat idealnya tidak memunculkan program pinjaman lunak melainkan negara harus menyediakan subsidi atau penghapusan utang, bukan memperluas sistem pinjaman kepada kelompok yang rentan.

Pemerintah jusetru sebaliknya. Pemerntah menawarkan skema pinjaman berbunga kepada masyarakat miskin. Ini bukan bentuk jaminan, tetapi instrumen ekonomi yang berisiko memiskinkan mereka secara permanen. Negara mendorong rakyat masuk ke dalam lingkaran utang resmi. Akibatnya, masyarakat tidak hanya kehilangan aset, tetapi juga kehilangan kendali atas penghasilannya sendiri.

BACA JUGA : Koperasi Merah Putih, Langkah Nyata Transformasi Sosial di Pedesaan

Rakyat Tergantung, Negara Untung

Kehadiran pengusaha di posisi kunci pemerintahan sebagai ancaman serius. Saat pelaku bisnis memimpin negara, kebijakan yang muncul cenderung menguntungkan kelompok modal, bukan rakyat. Dan, negara kini menjalankan logika bisnis dalam kebijakan publik. Pemerintah menciptakan pasar utang rakyat dan membungkusnya dengan simbol nasionalisme. Koperasi Merah Putih terdengar patriotik, tetapi di balik itu tersembunyi mekanisme ekonomi yang eksploitatif.  Pemerintah memanfaatkan rasa percaya masyarakat terhadap negara untuk menanamkan kontrol finansial dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah mengklaim bahwa pinjaman lunak akan menggerakkan usaha mikro dan ekonomi desa. Namun, kenyataan di lapangan bisa berbeda. Rakyat yang terjerat utang justru akan bekerja keras hanya untuk melunasi cicilan. Manakala masyarakat terlalu bergantung pada pinjaman, maka pemerintah dapat mengendalikan ekonomi sekaligus politik sekaligus. Padahal skema pinjaman luna dapat menciptakan ketergantungan jangka panjang dan mematikan inisiatif mandiri masyarakat. Bukankah pinjaman lunak ini sebagai bentuk kerja paksa gaya baru di mana Negara tidak mengangkat senjata, tetapi menggunakan sistem pinjaman untuk mengendalikan masyarakat?

Kehadiran Koperasi Merah Putih memang turut meicu lahirnya semangat nasionalisme. Namun, tidak ada salahnya jika rakyat harus tetap waspada dan jangan terbuai dengan label-label yang merepresentasikan nasionalisme dan kepatrirotannya. Dalam hal ini masyarakat harus tetap berpikir kritis dan ajeg pada Pasal 33 UUD 1945 perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan dan bertujuan menciptakan kesejahteraan umum. Rakyat tetap merdeka dan  memiliki hak untuk menolak dan menyuarakan keberatan.

BACA JUGA : Jaga Independensi! Desa Bersatu Tegaskan Koperasi Desa Merah Putih Bukan Alat Politik

Rakyat membutuhkan perlindungan bukan pinjaman Program Koperasi Merah Putih.  Pemerintah seharusnya menciptakan sistem sosial yang menghapus kemiskinan, bukan memperpanjangnya melalui skema utang legal.Tentunya kita tidak berharap negara berubah menjadi rentenir. Kalau hal ini terjadi maka rakyat kehilangan tempat mengadu. Jangan biarkan kemiskinan dijadikan proyek ekonomi oleh pemimpin yang menyamar sebagai penyelamat.

Oleh: Rohidin, SH, MH, M.Si

(Penulis adalah Sultan Patrakusumah VIII Trust Guarantee Phoenix Ina 18)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *