TASIKMALAYA – Di tengah upaya menumbuhkan kembali semangat kebersamaan masyarakat Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi meluncurkan gagasan bertajuk Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu). Sebuah gerakan yang sejatinya sederhana: mengajak semua orang menyisihkan Rp1.000 per hari untuk membantu mereka yang kurang mampu.
BACA JUGA : Pemkab Tasikmalaya Buka Seleksi Direksi Dua BUMD Strategis
Lewat Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/Kesra yang diterbitkan 1 Oktober lalu, Dedi berharap program ini menjadi simbol kepedulian sosial berbasis kearifan lokal Sunda. Ia ingin nilai “rereongan” semangat saling menolong hidup kembali di tengah masyarakat yang kini semakin individualistis.

Namun, niat baik itu justru menimbulkan gelombang perdebatan. Di banyak daerah, terutama di Kabupaten Tasikmalaya, masyarakat menilai kebijakan tersebut kurang mempertimbangkan kondisi ekonomi rakyat kecil.
Bagi mereka yang hidup dari pendapatan harian, seribu rupiah bukanlah angka sepele. Di saat harga kebutuhan pokok terus naik dan penghasilan tak menentu, kewajiban kecil seperti itu terasa menekan.
Di kawasan Masjid Agung Baiturrahman, Ilyas, seorang pedagang kaki lima, menyuarakan keluhannya dengan nada getir. Ia merasa kebijakan ini tidak realistis.
“Berat atuh, Pak. Kapan geus mayar pajeg (kami sudah bayar pajak). Pemerintah mestinya bantu rakyat, bukan malah nyuruh rakyat nyumbang lagi,” ucapnya sambil menata dagangannya.
Lebih jauh lagi, Engkus, warga kampung yang harus menafkahi tujuh anak, menggambarkan realitas yang lebih pahit. Tiga dari anaknya masih bersekolah, dan setiap hari ia berjuang dengan penghasilan pas-pasan.
“Seribu buat saya gede, apalagi anak tujuh. Kadang cuma bawa pulang tiga puluh ribu. Kalau rame baru lima puluh. Uang segitu aja sudah harus dibagi-bagi buat makan dan sekolah. Kalau disuruh nyumbang tiap hari, ya berat,” keluhnya lirih.
Engkus juga mempertanyakan di mana peran negara dalam membantu rakyat miskin. “Bukannya itu sudah kewajiban negara? Kita kan sudah bayar pajak. Harusnya bantuan itu dari anggaran, bukan dari rakyat kecil,” ujarnya menambahkan.
Berbeda dengan suara rakyat kecil, kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Tasikmalaya cenderung lebih tenang menanggapi program ini. Sebagian dari mereka mengaku sudah terbiasa menyisihkan sebagian gaji untuk kegiatan sosial. Meski begitu, muncul kekhawatiran baru: soal transparansi dan penyaluran dana.
“Kami mendukung niat baiknya, tapi mekanisme harus jelas. Jangan sampai bantuan tidak sampai ke yang benar-benar membutuhkan,” kata salah seorang ASN yang enggan disebut namanya.
Dari sisi niat, Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu sejatinya berangkat dari semangat luhur—menghidupkan kembali gotong royong di tengah derasnya arus materialisme. Namun, masalah muncul saat idealisme bertemu realitas sosial. Apa yang bagi sebagian orang tampak kecil, bisa jadi terasa sangat besar bagi mereka yang hidup di batas minimum.
Beberapa pengamat menilai polemik ini mencerminkan jurang persepsi antara pemerintah dan masyarakat bawah. Komunikasi publik yang kurang efektif membuat niat baik berubah menjadi salah paham. Sosialisasi yang minim pun menimbulkan kesan seolah gerakan ini bersifat wajib, bukan sukarela.
Dedi Mulyadi sendiri berkali-kali menegaskan bahwa donasi ini tidak memaksa dan hanya bertujuan menumbuhkan kembali semangat peduli sesama. Namun, bagi banyak rakyat kecil, pernyataan itu belum cukup menenangkan.
Mereka berharap kebijakan sosial semacam ini disertai dengan pendekatan yang lebih empatik—bukan hanya seruan moral, tapi juga pemahaman terhadap kondisi nyata di lapangan.
Sebab, di balik seribu rupiah yang dianggap ringan bagi sebagian orang, tersimpan makna perjuangan besar bagi mereka yang setiap hari berjuang sekadar untuk bertahan hidup. (LS)