TASIKMALAYAKU.ID – Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Irawan, menyampaikan pandangan strategis terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjatuhkan sanksi diskualifikasi terhadap seluruh pasangan calon dalam Pilkada Barito Utara.
Ia menegaskan bahwa langkah Mahkamah tersebut merupakan tonggak baru dalam penegakan hukum pemilu, namun tidak boleh berhenti pada aspek konstitusional semata.
Dalam keterangan (20/5/2025), Ahmad menekankan perlunya tindak lanjut dalam ranah hukum pidana guna menegaskan bahwa pelanggaran berat seperti politik uang bukan hanya pelanggaran etika elektoral, tetapi juga merupakan kejahatan terhadap demokrasi itu sendiri.
“Putusan Mahkamah ini merupakan terobosan hukum yang progresif. Namun untuk menjaga wibawa institusi peradilan dan menghindari persepsi prematuritas, proses pembuktian dalam jalur pidana perlu segera diakselerasi,” ujar Ahmad, dikutip dari tempo.co.
Ia menilai bahwa proses hukum pidana atas pelanggaran tersebut tidak semata-mata bertujuan menghukum, tetapi juga membentuk preseden yurisprudensial yang kuat agar tidak terjadi pembiaran terhadap praktik politik transaksional dalam kontestasi elektoral di masa depan.
BACA JUGA : KPU Tasikmalaya Bungkam Semua Tuduhan, Tegaskan PSU Sudah Sesuai Aturan
“Ini bukan sekadar soal Barito Utara. Ini adalah soal masa depan demokrasi kita. Sudah saatnya bangsa ini menegaskan bahwa praktik membeli suara rakyat dengan iming-iming materi dan janji keberangkatan umrah adalah bentuk penghinaan terhadap kedaulatan rakyat,” tegasnya.
Ahmad menilai bahwa pendekatan represif melalui instrumen hukum pidana akan menciptakan efek jera yang konkret, sekaligus menjadi pesan moral dan politik bagi seluruh kontestan di pilkada-pilkada lainnya.
Sebelumnya, pada 14 Mei 2025, Mahkamah Konstitusi secara tegas mendiskualifikasi dua pasangan calon yang berlaga di Pilkada Barito Utara.
Dalam putusannya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyatakan bahwa kedua pasangan terbukti melakukan praktik politik uang, termasuk pemberian uang tunai dan janji keberangkatan umrah bagi pemilih yang memenangkan pasangan tertentu.
“Perbuatan demikian jelas-jelas mencederai prinsip pemilu yang jujur dan adil sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah tidak ragu untuk menjatuhkan sanksi diskualifikasi kepada kedua pasangan calon,” kata Guntur dalam persidangan.
Ahmad menutup pernyataannya dengan menyerukan agar seluruh pemangku kepentingan, termasuk penegak hukum, menjadikan kasus ini sebagai momen reflektif dan korektif dalam upaya membangun sistem pemilu yang berintegritas, transparan, dan akuntabel.
“Demokrasi yang sehat tidak dapat tumbuh di atas fondasi transaksional. Jika kita ingin mewariskan sistem politik yang bermartabat bagi generasi mendatang, maka tidak ada ruang toleransi bagi praktik money politics,” pungkasnya.