Politik

Politik “Eudeuk-Eundeukan”

×

Politik “Eudeuk-Eundeukan”

Sebarkan artikel ini
politik eudeuk
Ilustrasi
Rohidin SHMH M.Si e1751721960427
Rohidin, SH,MH, M.Si

TASIKMALAYA – “Eundeuk-Eundeukan Tagoni menang Pecang sahiji. Lepas deui ku aki benang deui ku nini. Lepas deui ku nini benag deui ku aki…”. Itulah penggalan kawih Sunda populer era 70-80-an. Hampir semua bocah pedesaan di Wilayah Tatar Sunda hapal lirik lagu tersebut lantaran sering dinyanyikan setiap hari ketika mereka bermain bersaa teman sebayanya.

Kawih tradisional Sunda bertajuk “Eundek-Eundekan” biasa dinyanyikan dalam permainan anak-anak pada siang dan sore hari. Permainan ini melibatkan anak-anak yang saling berpegangan pada dahan pohon sambil bernyanyi bersama. Dahan pohon digerakkan mereka ke atas, ke bawah ke kini dan ke kanan. Mereka menggerakkan dahan pohon secara bersamaan sesuai dengan lirik lagu yang diucapkannya.

Dengan suara nyaring dan penuh semangat, dahan pohon yang mereka tumpangi digerakkan mengikuti alunan lagu. Suara nyaring dan pelan yang keluar dari mulut bocah pedesaan merupakan petanda gerakan dahan kayu.

Manakala dahan kayu tempat berdiri mereka berada di atas, mereka berteriak penuh kebahagaiaan. Sebaliknya, dahan kayu ada di posisi bawah mereka berdiam sambil mengatur alur untuk menganggkat kembali dahan kayu ke puncak.

Secara etimologis, “Eundeuk-eundeukan” mengacu pada gerakan permainan, yaitu berayun atau bergantungan. “Tagoni” adalah seruan atau panggilan dalam permainan. Sedangkan sakadang Peucang, nama binatang yang acapkali diangkat dalam cerita-cerita (dongeng) di Tatar Sunda.

Meski begitu, kawih “Eundeuk-eundeukan Tagoni” merupakan bagian penting dari permainan tradisional Sunda. Kawih ini mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, keceriaan dan menanamkan semangat gotong royong dalam masyarakat Sunda.

Paradigma kawih eundek-eundekan kini terbalik. Makna filosofi kawih bukan lagi dimiliki anak-anak, melainkan dijadikan jurus jitu dalam realitas kehidupan politik di Indonesia. Pemerintahan yang sedang berkuasa dan mantan penguasa pemerintahan ibarat aki (kakek) dan nini (nenek) dalam menangkap sakadang Pecang.

Para penjahat (koruptor) yang ditangkap rezim berkuasa, bisa lepas lagi karena dibela rezim lama. Begitu pula sebaliknya. Dalam konteks ini masyarakat hanya menonton permainan ‘eundeuk-eundeukan” antara rezim berkuasa dan mantan resim berkuasa.

Selama penguasa dan mantan penguasa kental dengan kolaborasi dan saling sadera politik, tentunya kita tidak bisa berharap banyak jika kasus hukum raksasa dapat diselesaikan secara adil. Kedua rezim akan terus saling menutupi dan saling membela. Ditangkap rezim berkuasa, dilepas mantan rezim berkuasa. Dibongkar mantan rezim berkuasa, dilepas rezim berkuasa. Itulah potret politik kawih Sunda “Endeuk eundeukan Tagoni” yang sedang diperankan pemerintah dan kita terlena menontonnya. (*/)

Oleh: Rohidin, SH, MH, M.Si
(Penulis adalah Sultan Patrakusumah VIII Trust of Guarantee Phoenix INA-18, dan Pengamat Kebijakan Publik).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *