TASIKMALAYA – Polemik kewajiban pembayaran royalti lagu atau musik yang diputar di hotel, restoran, dan kafe kembali mencuat, meski sebagian musisi telah menggratiskan karyanya untuk digunakan di tempat usaha.
Bagi pelaku usaha, persoalan utama terletak pada skema penarikan royalti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta beserta turunannya.
President Director Sahid Hotels & Resorts sekaligus Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, menilai aturan tersebut memberatkan dan perlu segera direvisi.
“Tagihan royalti bahkan ada yang ditarik mundur sejak 2014, saat UU mulai berlaku. Ini sangat aneh dan memberatkan. Seharusnya yang ditagihkan hanya untuk periode berjalan,” ujar Hariyadi dikutip dari kontan.co.id, (10/8/2025).
PHRI menyoroti minimnya sosialisasi serta praktik penagihan yang kerap melibatkan aparat penegak hukum. Dari sisi tarif, metode perhitungan berbasis jumlah kamar (hotel), jumlah kursi (restoran), atau luas area dinilai tidak relevan dengan kondisi usaha.
BACA JUGA : Merah Putih Raksasa Berkibar di Jembatan Perjuangan Karang Resik, Menggema Semangat 1947
“Pendapatan usaha tidak konsisten, apalagi jika musik hanya digunakan sebagai latar belakang. Dengan konsep tarif seperti sekarang, lagu menjadi barang mahal di tempat usaha,” tegasnya.
Hariyadi juga menekankan perlunya keterlibatan pemerintah dalam penyusunan tarif, bukan sekadar mengesahkan usulan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). PHRI meminta pencipta diberi hak untuk secara resmi membebaskan karyanya dari royalti, tanpa diabaikan oleh LMK.
“LMK bekerja harus berdasarkan mandat dari pencipta, dan mandat itu harus dapat dibuktikan,” jelasnya.
PHRI keberatan apabila biaya operasional LMK atau Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) diambil dari dana royalti yang dipungut. Menurutnya, biaya tersebut semestinya berasal dari iuran anggota atau sumber sah lainnya.
Hariyadi juga mengkritisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 yang memberi kewenangan LMKN menarik royalti dari semua pengguna, termasuk yang memutar lagu ciptaan sendiri atau lagu bebas royalti. “Seharusnya hanya lagu dari pencipta yang menjadi anggota LMK saja yang dibayarkan,” katanya.
PHRI mengusulkan agar definisi “komersial” dalam PP 56/2021 dipersempit, hanya mencakup usaha yang menjual lagu sebagai produk utama, seperti karaoke, diskotek, konser, atau pertunjukan musik.
“Kalau hanya sebagai backsound, tidak perlu membayar royalti. Pemutaran lagu di tempat usaha justru membantu promosi karya pencipta,” ujar Hariyadi.
Terkait pendistribusian dana, ia menekankan perlunya transparansi penuh dan audit akuntan publik. Royalti yang dibayarkan merupakan titipan dari masyarakat kepada pencipta, sehingga pemerintah wajib mengawasi pendistribusiannya dan memiliki perwakilan dalam kepengurusan LMKN.
PHRI juga menyoroti belum terealisasinya Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) sesuai amanat PP 56/2021. “Kalau sampai batas waktu tidak terwujud, aturan itu seharusnya batal demi hukum. Pemerintah harus konsisten,” tegasnya.
Soal kabar penarikan tarif royalti yang dicantumkan terpisah di struk atau tagihan konsumen, PHRI mengaku belum menerima laporan. Namun, Hariyadi menilai praktik tersebut tidak tepat.
BACA JUGA : Rocky Gerung Sebut Banyak Menteri Cacat Moral, Dorong Prabowo Lakukan Reshuffle
“Tamu datang ke hotel untuk menginap, atau ke restoran untuk makan dan minum, bukan untuk mendengarkan lagu. Kalau ditampilkan di struk, pasti akan ada tamu yang protes,” ujarnya.
Hariyadi menegaskan urgensi revisi UU Hak Cipta agar kegaduhan terkait royalti tidak berlarut-larut. Ia menilai masyarakat belum bisa sepenuhnya percaya kepada LMKN, karena pengurusnya tidak satupun berasal dari pemerintah.
“Pemerintah tidak boleh menyerahkan sepenuhnya urusan pemungutan kepada LMKN/LMK. Tanpa keterlibatan pemerintah, LMKN bisa menjadi lembaga superbodi yang hanya melihat kepentingan pencipta, tanpa mempertimbangkan kemampuan masyarakat,” pungkasnya. (LS)