TASIKMALAYA – Rencana pengalihan judul-judul Pokok Pikiran (Pokir) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tasikmalaya oleh Bupati Cecep Nurul Yakin menuai gelombang penolakan dari sejumlah fraksi. Pokir yang selama ini menjadi kanal aspirasi rakyat dinilai tidak bisa begitu saja dialihkan atau digeser hanya demi kepentingan program eksekutif.
Langkah Bupati yang mengusulkan perubahan judul Pokir, agar menyesuaikan dengan program prioritasnya, dianggap melangkahi substansi representasi politik anggota DPRD. Penolakan pun datang dari berbagai unsur pimpinan dan fraksi DPRD.
Ketua DPRD Kabupaten Tasikmalaya, Ami Fahmi, secara tegas menyuarakan keberatannya atas wacana tersebut. Ia menegaskan bahwa Pokir adalah hak masyarakat yang dititipkan melalui wakil rakyat. Maka, mengalihkan atau mengubahnya tanpa alasan yang disepakati bersama sama saja dengan mengabaikan suara rakyat.
“Hari ini ada permintaan dari Bupati untuk mengalihkan sejumlah judul pokir agar disesuaikan dengan program yang beliau kehendaki. Tentu kami menolaknya,” tegas Ami Fahmi kepada awak media, (22/7/2025).
BACA JUGA : DPRD Desak Bupati Tasikmalaya Cabut Kebijakan Cut Off Anggaran Keagamaan
Ia menjelaskan, Pokir lahir dari proses reses dan dialog langsung para anggota dewan dengan konstituen di daerah pemilihan masing-masing. Oleh karena itu, menurutnya, Pokir bukan sekadar usulan, melainkan wujud nyata dari komitmen politik antara legislatif dan rakyat yang mereka wakili.
“Kalau hari ini kita abaikan amanah masyarakat, itu artinya kita mengkhianati kepercayaan rakyat. Kami sarankan, kalau Bupati punya program prioritas, realisasikan saja lewat anggaran tahun 2026,” tambahnya.
Penolakan senada juga datang dari Fraksi PAN. Ucu Mulyadi, anggota dewan dari fraksi tersebut, menilai langkah Bupati tidak sejalan dengan semangat demokrasi partisipatif. Menurutnya, aspirasi rakyat yang sudah dihimpun melalui Pokir bukan untuk dinegosiasikan, melainkan diperjuangkan.
“Tentu saya tidak setuju. Kami semua punya konstituen yang harus diperjuangkan aspirasinya. Itu tanggung jawab moral dan politik kami sebagai wakil rakyat,” ujarnya.
Ucu juga memberikan solusi alternatif. Jika persoalannya terletak pada keterbatasan anggaran daerah, ia menyarankan agar pemerintah daerah menggandeng anggota DPRD Provinsi atau DPR RI agar program-program prioritas bisa tetap didanai.
“Kalau anggaran kurang, ajukan saja ke anggota DPRD Provinsi atau DPR-RI. Kita punya daftar program, nanti tinggal diakomodasi oleh mereka,” imbuhnya.
Sikap tegas juga disuarakan Fraksi PDI Perjuangan. Ketua fraksinya, Nanang Romli, menegaskan bahwa Pokir adalah bagian dari sistem perencanaan pembangunan yang telah memiliki payung hukum jelas, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Pokir merupakan hasil dari penjaringan aspirasi saat masa reses. Prosesnya panjang dan tidak bisa serta-merta dihapus atau dialihkan begitu saja,” ujar Nanang.
Nanang menyebut, sekalipun niat Bupati untuk mengalihkan Pokir demi pembangunan infrastruktur memiliki tujuan baik, hal itu tetap tidak bisa menjadi dasar untuk menyingkirkan peran DPRD dalam proses perencanaan pembangunan daerah.
“Kami punya dukungan politik, Bupati juga punya. Tapi ini bukan soal kekuasaan, ini soal amanah rakyat yang tidak bisa diabaikan,” tuturnya.
Sejauh ini, rencana pengalihan Pokir memang masih bersifat wacana. Namun, sinyal penolakan keras dari sejumlah fraksi menunjukkan potensi gesekan serius antara legislatif dan eksekutif jika wacana itu dipaksakan.
Dalam sistem pemerintahan daerah yang mengedepankan prinsip partisipatif, keberadaan Pokir merupakan salah satu instrumen penting dalam memastikan suara rakyat benar-benar tersalurkan dalam pembangunan. Maka, langkah mengubahnya tanpa konsensus jelas bukan hanya soal teknis, melainkan soal prinsip dan legitimasi politik. (rzm)