TASIKMALAYA – Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling rawan bencana di dunia. Terletak di kawasan cincin api Pasifik, negeri ini kerap dilanda gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir, hingga tanah longsor. Namun, di tengah berbagai upaya penanggulangan bencana, kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, anak-anak, dan ibu hamil sering kali terpinggirkan.
Menjawab tantangan tersebut, Paguyuban Pegiat Disabilitas Kota Tasikmalaya (Papeditas) hadir sebagai penggerak perubahan. Berkolaborasi dengan Bidang Perlindungan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kota Tasikmalaya, Papeditas menginisiasi edukasi dan sosialisasi mitigasi bencana yang ramah disabilitas.
Kegiatan yang digelar baru-baru ini itu menyasar kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas, dan mendapat respons positif dari berbagai kalangan. Salah satu inisiator kegiatan, Aris Rahman, M.Pd, menegaskan pentingnya membangun skema penanggulangan bencana yang inklusif.
“Sosialisasi penanganan bencana bagi kelompok rentan sangat penting untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi dampak bencana. Edukasi ini harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik setiap kelompok, seperti penggunaan bahasa isyarat, metode visual, dan aksesibilitas tempat evakuasi,” ungkap Aris dalam keterangannya kepada media, (28/7/2025).
BACA JUGA : Bambu Raya, Simbol Peradaban yang Menembus Batas Tradisi dan Inovasi
Menurut data yang disampaikan Aris, terdapat sekitar 2.200 penyandang disabilitas di Kota Tasikmalaya, atau sekitar 1 persen dari total penduduk. Angka tersebut menunjukkan bahwa inklusi dalam mitigasi bencana bukan sekadar wacana, tetapi kebutuhan yang mendesak.
Tak hanya komunitas disabilitas, kegiatan ini juga mendapat dukungan dari Komunitas Pecinta Alam. Harniwan “Mang Obech” Obech, anggota senior Mapala KAMAPALA STIA Tasikmalaya, menilai sosialisasi semacam ini dapat memperkuat ketangguhan masyarakat.
“Edukasi seperti ini meningkatkan pemahaman risiko dan mempercepat pemulihan pascabencana. Penanganan bencana adalah tanggung jawab bersama,” ujarnya.
Kepala Bidang Perlindungan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kota Tasikmalaya, Hj. Indah Nalihati, turut hadir dalam kegiatan tersebut dan menyampaikan apresiasi atas inisiatif Papeditas.
“Terima kasih kepada Pak Aris dan Papeditas. Ilmu yang dibagikan hari ini sangat bermanfaat, semoga menjadi bekal berguna di masa depan,” ujar Indah.
Ia menekankan bahwa keterlibatan aktif masyarakat dalam upaya mitigasi adalah cerminan tumbuhnya kesadaran kolektif yang inklusif.
Mitigasi bencana, lanjut Indah, tidak semata tentang peta risiko dan jalur evakuasi. Lebih dari itu, dibutuhkan keadilan akses dan partisipasi semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang hidup dalam keterbatasan. Edukasi inklusif menjadi jembatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Papeditas membuktikan bahwa dengan semangat gotong royong, kelompok rentan dapat menjadi bagian dari solusi. Penyampaian materi dengan bahasa isyarat, teks mudah dibaca, serta aksesibilitas fisik menjadi kunci untuk meningkatkan kesiapsiagaan menyeluruh.
Kota Tasikmalaya, sebagai wilayah dengan potensi bencana tinggi, mulai menunjukkan keseriusan dalam membangun pendekatan penanggulangan bencana yang lebih manusiawi. Kolaborasi antara Papeditas, Dinas Sosial, dan Mapala KAMAPALA STIA menjadi contoh konkret penerapan sistem inklusif di tingkat lokal.
“Kami berharap ini bukan akhir, tapi awal dari gerakan yang lebih besar untuk memastikan tak ada yang tertinggal dalam penanggulangan bencana,” pungkas Aris.
Inisiatif seperti ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain dalam membangun sistem kebencanaan yang adil dan berkelanjutan. Sebab, dalam menghadapi bencana, tidak ada satu pun warga yang boleh ditinggalkan. (rzm)