
TASIKMALAYA – Amerika Serikat tetap memegang kendali utama dalam percaturan geopolitik global. Dalam setiap konflik internasional, pengaruh Washington selalu muncul, baik secara terang-terangan maupun melalui negara proksinya. Kondisi ini mencerminkan bahwa sistem dunia saat ini masih bergantung pada satu kekuatan besar sekalipun tindakannya melanggar prinsip keadilan global. Kekuatan besar menjadikan nyali hukum hilang.
Keterlibatan Amerka Serikat dalam berbagai konflik dunia bukan sebatas tudingan melainkan sudah kenyataan. Manakala kita telisik, konflik di wilayah Timur Tengah tidak lepas dari kejahatan AS melalui negara proksinya Israel. Sekalipun tindakan AS itu tidak dibenarkan bahkan melanggar hukum, dunia termasuk PBB tak berani mengadilinya. Begitupun dalam konflik Thailand–Kamboja mengenai Kuil Preah Vihear, Amerika dituding berada di dalamnya. Lantas beranikah dunia mengadili Amerika?
Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962 memutuskan Kuil Preah Vihear merupakan wilayah sah milik Kamboja. Putusan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat. Belakangan, Thailand mengklaim dan ingin merebutnya kembali melalui agresi militer yang mengakibatkan banyak korban dari kedua negara. Ironisnya, Amerika justru berada di dalam agresi tersebut. Amerika memberikan toleransi dan dukungan terhadap aksi militer Thailand yang ingin merebut Kuil Preah Vihear.
Dukungan Amerika Serikat terhadap Thailand dilakukan secara tersembunyi. Ia secara diam-diam memberikan dukungan baik dan bentuk logistik maupun diplomatik. Tindakan ini menandakan bahwa kepentingan geopolitik lebih diutamakan daripada penegakan hukum. Transisi ini menunjukkan pergeseran serius dalam sistem internasional. Kekuatan telah menggantikan hukum sebagai rujukan utama dalam pengambilan kebijakan global. Dunia hanya bisa menyaksikan, tanpa mampu memaksa negara kuat untuk tunduk pada keputusan yang adil berazaskan hukum.
Kebijakan Amerika menunjukkan standar ganda yang mencolok. Amerika selalu mengklaim sebagai penjaga hukum dan demokrasi, namun sering kali memicu pelanggaran besar termasuk pada kasus Thailand–Kamboja. Ketika negara sekutu melanggar hukum internasional, Amerika memilih diam. Namun, ketika negara musuh dianggap melakukan hal yang sama, mereka langsung bereaksi menyerukan sanksi dan intervensi. Dunia kini menyaksikan kebangkrutan moral dari penguasa global yang semestinya menjadi panutan.
ICJ dan ICC Tak Punya Taring?
Kelemahan institusi dunia seperti ICJ dan ICC dalam menyikapi konflik sengit yang melibatkan negara adi kuasa dapat dilihat dari minimnya kemampuan eksekusi. Institusi dunia termasuk PBB hanya berani mengucapkan tindakan verbal berupa diksi ‘mengutuk’ tanpa berani melakukan tindakan konkret berdasarkan hukum internasional yang sudah disepakati bersama. Dalam konteks ini ICJ dan ICC hanya sebatas Lembaga Internasional Tanpa Taring, karena keputusan yang dikeluarkannya tidak berguna.
Sebagai contoh institusi dunia ICC, mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Vladimir Putin dan Benjamin Netanyahu karena dinyatakan bersalah. Namun, hingga saat ini tidak ada langkah konkret untuk menangkap keduanya. Sebaliknya, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) justru lebih aktif menargetkan pemimpin negara berkembang seperti Rodrigo Duterte. Realitas ini menunjukkan bahwa keadilan tampak berjalan dengan standar ganda. Negara kecil selalu menjadi sasaran hukum, sementara negara besar bebas dari konsekuensi. Ini membuktikan bahwa hukum internasional tidak berjalan adil, melainkan tunduk pada kekuasaan dan tekanan politik.
Pilihan Bijak Indonesia
Menyikapi persoalan dunia Indonesia dinilai sudah berpikir dan bertindak bijak. Pada saat Rusia menawarkan kerjasama bidang nuklir Indonesia tidak tergoda. peerintah Indonesia justeru memilih menjaga netralitas. Keputusan tersebut pada prinsipnya menyelamatkan Indonesia dari potensi serangan terbuka dari negara-negara Barat.
Jika saja Indonesia tergoda kerjasama nuklir dengan Rusia tidak menutup kemungkinan Indonesia dianggap sebagai bagian dari blok musuh oleh Amerika. Karenanya, saya pepandangan keputusan menolak kerjasama nuklir merupakan langkah strategis yang sangat tepat diambil Indonesia. kalau tidak, tak menutup kemungkinan Indnesia menjadi bulan-bulanna negara-negara Barat.
Keputusan netralitas aktif yang diambil Indonesia merupakan keputusan yang cerdas. Namun, keputusan itu harus dijaga dan diimplementasikan secara aktif demi perdamaian dunia. Indonesia perlu bersuara tegas di forum internasional. Ketika ketidakadilan terjadi, suara Indonesia harus berdiri di atas prinsip, bukan hanya diplomasi kosong.
Transisi dari sistem hukum ke sistem kekuatan bukan sekadar perubahan teknis. Transisi ini berpotensi menciptakan ketidakstabilan dan ketimpangan. Tanpa keberanian untuk menindak negara kuat, keadilan hanya menjadi retorika semata. Jika dunia terus bergantung pada satu kutub kekuasaan, keadilan sejati tidak akan pernah terwujud. Dalam kondisi seperti ini memaksa untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai simbol hukum, bukan pelaksana hukum.
Untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan hukum dunia sudah seharusnya dilakukan reformasi sistem hukum global tanpa harus menunggu terjadinya perang dunia ke-3. Semua negara tanpa kecuali, harus tunduk pada hukum. Untuk mewujudkan tegaknya hukum harus ada keberanian komunitas internasional untuk berdiri di atas hukum. Tanpa gerakan itu, dunia hanya akan terus menyaksikan penindasan yang dibungkus legalitas semu. Kini sudah saatnya membangun tatanan baru yang adil, transparan, dan tidak tunduk pada kekuasaan.
Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si.,
(Penulis adalah Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18).