TASIKMALAYA — Status lahan Afdeling Gunung Cupu di Kecamatan Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya, hingga kini masih belum jelas. Lahan seluas sekitar 125 hektare yang selama ini dikelola PT Banjarnegara disebut telah habis masa Hak Guna Usaha (HGU)-nya sejak tahun 2023, namun belum ada kepastian perpanjangan atau penyerahan kembali kepada negara.
BACA JUGA : Pansus DPRD Tasikmalaya Tuntaskan Pembahasan RPJMD 2025–2029, Paripurna Dijadwalkan Hari Ini (20/10/2025)
Kondisi itu memunculkan keresahan di kalangan masyarakat empat desa yang wilayahnya bersinggungan langsung dengan kawasan tersebut, yakni Desa Tanjungbarang, Cayur, Lengkongbarang, dan Sinangasih. Para kepala desa setempat pun mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Tasikmalaya (17/10/2025), untuk menuntut kejelasan status hukum lahan Gunung Cupu.
Kepala Desa Tanjungbarang, Harun Arasid, SH, mengatakan masyarakat perlu mendapat kepastian hukum agar tidak terjadi tumpang tindih klaim pengelolaan lahan.

“Tanah itu merupakan tanah negara yang dikelola PT Banjarnegara. Kami ingin tahu kejelasannya karena masa HGU-nya dikabarkan sudah habis,” ujarnya.
Harun menjelaskan, berdasarkan aturan pertanahan, perusahaan pemegang HGU memiliki hak prioritas selama dua tahun untuk mengajukan perpanjangan izin atau mengembalikan aset kepada negara. Namun, sejak kabar masa HGU berakhir tahun lalu, belum ada keputusan resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun pemerintah daerah.
“Kalau memang tidak diperpanjang, kami berharap lahan itu bisa dikembalikan untuk dikelola desa melalui Bumdes. Potensinya besar untuk meningkatkan ekonomi masyarakat,” tambahnya.
Menurutnya, pengelolaan berbasis desa dapat mendorong peningkatan Pendapatan Asli Desa (PADes) serta memberikan lapangan usaha bagi warga sekitar tanpa harus memunculkan konflik kepemilikan pribadi.
Kepala Desa Cayur, Ahmad Kaffi, menilai ketidakjelasan status hukum lahan Gunung Cupu justru berpotensi menimbulkan persoalan sosial baru. Ia mengungkapkan sudah mulai muncul pihak-pihak yang mengklaim sebagai pengelola baru di lapangan.
“Kalau tidak segera diputuskan oleh BPN, dikhawatirkan muncul sengketa. Karena di lapangan sudah ada penggarapan baru yang tidak jelas dasarnya,” ujarnya.
Ia menegaskan, desa siap menjadi mitra pemerintah dalam menjaga ketertiban pengelolaan lahan agar manfaatnya bisa kembali ke masyarakat secara adil.
Sementara itu, Kepala Desa Lengkongbarang, H. Awan, menilai kejelasan status hukum lahan Gunung Cupu penting sebagai dasar setiap kebijakan pembangunan di kawasan tersebut.
“Kami datang bukan untuk menuntut hak, tapi menuntut kejelasan hukum. Kalau memang HGU sudah habis, BPN harus menyatakan secara resmi agar masyarakat tidak berspekulasi,” tegasnya.
Para kepala desa berharap DPRD Kabupaten Tasikmalaya dapat menindaklanjuti persoalan ini dengan memanggil pihak-pihak terkait, termasuk BPN dan PT Banjarnegara, untuk menjelaskan posisi hukum lahan tersebut. Mereka juga mendorong adanya transparansi data pertanahan, agar publik mengetahui apakah lahan Gunung Cupu masih berstatus HGU aktif, sedang diperpanjang, atau sudah menjadi tanah negara.
“Kepastian hukum ini penting, bukan hanya bagi desa, tapi bagi ketertiban agraria di wilayah Tasikmalaya selatan,” kata Harun. (LS)