TASIKMALAYA – Dedi Hidayat duduk di sudut ruangan yang kini tak lagi layak disebut rumah. Di sekelilingnya, dinding yang separuh roboh dibiarkan ditopang oleh batang bambu. Atapnya tertutup terpal lusuh yang semakin lapuk oleh hujan malam.
Sudah tiga bulan sejak angin kencang dan hujan lebat memorakporandakan rumahnya di Kampung Sukaasih, Kelurahan Sumelap, Kecamatan Tamansari, Kota Tasikmalaya. Namun hingga kini, bantuan yang dijanjikan tak kunjung datang.

“Baru terpal dan sembako, itu pun dari Tagana dan BPBD. Selebihnya belum ada,” ujar Dedi lirih, matanya berkaca-kaca saat ditemui Senin (16/6/2025).
Dedi bukan sekadar warga biasa. Ia pernah menjabat sebagai Ketua RT 02/RW 04—posisi sosial yang semestinya memberinya akses lebih dekat ke jaringan pemerintahan setempat. Namun status itu tak serta-merta membuatnya diutamakan dalam penanganan bencana.
Hidup di Tepi Keputusasaan
Di tengah reruntuhan itu, Dedi kini tinggal bersama istri dan dua anaknya. Ia mengaku hanya mengandalkan pekerjaan serabutan yang datang tidak tentu. Kesulitan ekonomi tak hanya membuatnya gagal memperbaiki rumah, tetapi juga memaksa anak sulungnya yang baru duduk di kelas satu SMA untuk berhenti sekolah.
“Bukan kami tak ingin anak sekolah, tapi kami tak mampu. Buat makan saja susah, apalagi bayar sekolah dan mondok,” katanya, sembari memalingkan wajah.
Sempat mencoba peruntungan dengan merantau ke Padang, Dedi kembali dengan tangan hampa.
“Kerja di luar kota itu was-was, hati nggak tenang. Di sana mikirin rumah, anak, istri. Akhirnya pulang juga.”
Ketidakhadiran Negara
Ironisnya, pihak Kelurahan disebut sudah mengetahui kondisi rumah Dedi sejak awal kejadian. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada tindak lanjut konkret dari pihak Kelurahan, Kecamatan, maupun Pemerintah Kota Tasikmalaya. Padahal, dalam Peraturan Wali Kota Tasikmalaya No. 12 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah daerah memiliki kewajiban melakukan pemulihan pascabencana bagi korban terdampak.
Ketika ditanya mengenai hal tersebut, Dedi hanya menggeleng pelan.
“Saya capek kalau harus terus berharap. Tapi saya juga nggak tahu harus ke mana lagi,” ujarnya.
Realitas yang Luput dari Laporan
Menurut data BPBD setempat, setiap tahun ada puluhan rumah rusak akibat bencana alam di Kota Tasikmalaya. Namun dari jumlah itu, hanya sebagian kecil yang mendapatkan bantuan rehabilitasi layak. Sisanya harus menunggu entah sampai kapan, atau membangun kembali dari sisa-sisa harapan sendiri. (rzm)