Kabupaten Tasikmalaya

Mak Koko dan Rumah yang Hilang: Kisah dari Kampung Cikiray Tanjungjaya

×

Mak Koko dan Rumah yang Hilang: Kisah dari Kampung Cikiray Tanjungjaya

Sebarkan artikel ini
Foto/Net

TASIKMALAYAKU.ID – Di usia senjanya, Mak Koko (80) hanya menginginkan sisa hari yang tenang di rumah kecil panggung miliknya, yang berdiri sederhana di Kampung Cikiray, Desa Cikeusal, Kecamatan Tanjungjaya, Kabupaten Tasikmalaya. Namun pada (27/5/2025), sekitar pukul 13.00 WIB, rumah tempat ia berteduh selama puluhan tahun itu habis dilalap api, menyisakan arang dan abu kenangan.

Dari rumah berukuran 6×4 meter itu, tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Dinding dari anyaman bambu yang rapuh dilalap si jago merah dalam hitungan menit.

Api yang bermula dari tungku kayu bakar, kawan lama Mak Koko dalam menanak nasi dan menghangatkan tubuh, justru menjadi musuh yang menghancurkan segalanya.

Dugaan sementara, tungku itu dibiarkan menyala dan apinya membesar hingga menyambar bagian rumah yang mudah terbakar.

“Benar terjadi kebakaran yang menghanguskan rumah seorang lansia. Kami langsung bergerak ke lokasi setelah menerima laporan,” kata Kapolsek Tanjungjaya, Ipda Nandang Andriana, SH.

BACA JUGA : KPU Kabupaten Tasikmalaya Tetapkan Cecep Nurul Yakin dan Asep Sopari Sebagai Kepala Daerah Terpilih

Lebih dari Sekadar Rumah

Bagi sebagian orang, rumah mungkin hanya bangunan. Tapi bagi Mak Koko, itu adalah tempat ia membesarkan anak-anaknya, menghabiskan hari-hari panjangnya bersama almarhum suami, dan menerima cucu-cucu yang datang berkunjung di hari lebaran.

Kini, rumah itu hanya tinggal puing. Karpet reyot tempat ia biasa duduk bersila, lemari tua penyimpan surat-surat penting, dan kuali besar warisan ibunya, semua lenyap dalam kobaran api.

Kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp15 juta. Namun angka itu tidak pernah bisa mewakili kehilangan emosional yang dialami oleh seorang lansia yang harus mengungsi ke rumah keluarga, menatap sisa-sisa hidupnya dari balik jendela rumah orang lain.

Kerapuhan Sistem dan Tradisi

Kejadian ini menyentil banyak hal. Di pedesaan seperti Kampung Cikiray, tungku kayu bakar masih menjadi alat utama memasak. Bukan karena romantisme masa lalu, melainkan karena keterbatasan ekonomi dan infrastruktur. Gas elpiji masih terasa mahal bagi sebagian warga. Maka kayu bakar yang bisa dicari di hutan sekitar, menjadi pilihan rasional.

Namun rumah-rumah seperti milik Mak Koko, yang berdinding bambu dan beratapkan rumbia, tidak dirancang untuk menghadapi potensi bencana. Satu percikan api bisa membakar seluruh kehidupan.

“Kita harus lebih waspada. Rumah-rumah tradisional seperti ini memang indah dan sederhana, tapi sangat rentan,” ujar Ipda Nandang.

Ia menambahkan, pihaknya masih melakukan penyelidikan mendalam dan berkoordinasi dengan pihak desa untuk meningkatkan edukasi warga soal mitigasi kebakaran.

Menanti Uluran Tangan

Pasca kebakaran, belum ada keterangan resmi mengenai bantuan dari pemerintah setempat. Warga sekitar mencoba bergotong-royong memberikan pakaian dan makanan seadanya. Beberapa tokoh masyarakat juga mulai menggalang donasi untuk membangun kembali rumah Mak Koko.

Namun prosesnya tidak mudah. Di usia 80 tahun, Mak Koko tak lagi kuat untuk ikut serta dalam pembangunan fisik. Ia hanya bisa berharap, ada tangan-tangan yang peduli, yang mau menyisihkan sedikit untuk memberinya atap kembali.

“Saya cuma ingin bisa masak lagi di dapur, tidur di tikar sendiri, bukan numpang terus,” bisiknya pelan, matanya menatap kosong ke tanah bekas rumahnya yang kini menghitam. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *