Kota Tasikmalaya

Kisah Dedi Supriatna: Guru Sukwan SLB Kota Tasikmalaya Berjuang 30 Tahun dengan Gaji Minim

×

Kisah Dedi Supriatna: Guru Sukwan SLB Kota Tasikmalaya Berjuang 30 Tahun dengan Gaji Minim

Sebarkan artikel ini
Dedi Supriatna (58), seorang guru sukwan yang telah mengabdikan lebih dari 30 tahun. Foto: Rizky Zaenal Mutaqin/tasikmalayaku.id

TASIKMALAYA — Langkah seorang lelaki berbatik putih dengan logo Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tampak terburu-buru saat turun dari sepeda motor tuanya. Peluh mengalir, namun senyumnya tetap ramah saat memasuki halaman Sekolah Luar Biasa (SLB) Yayasan Insan Sejahtera di Kampung Argasari, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya.

Lelaki itu bernama Dedi Supriatna (58), seorang guru sukwan yang telah mengabdikan lebih dari 30 tahun hidupnya untuk mendidik anak berkebutuhan khusus. Ia bukan Aparatur Sipil Negara (ASN), bukan pula guru bersertifikasi. Namun pengabdiannya jauh melampaui sekadar profesi.

Pada peringatan Hari Guru Nasional 2025, tepat 25 November, dedikasi panjangnya akhirnya mendapat apresiasi. Pada apel akbar peringatan Hari Guru Nasional, Dedi menerima penghargaan sebagai Guru Sukwan Berdedikasi Tinggi, pengakuan yang menurutnya “terasa hangat meski datang terlambat”.

BACA JUGA : HGN: Tasikmalaya Krisis Guru, 6.000 Tenaga Pendidik Dibutuhkan, Ribuan Sekolah Terancam Tanpa Pengajar

Dedi mulai mengajar pada tahun 1995, berbekal pendidikan Diploma 2 (D2). Kecintaannya pada dunia pendidikan anak disabilitas membuatnya menempuh pendidikan lanjutan di SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa) selama dua tahun. Program ini membekalinya pengetahuan tentang karakteristik anak Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Autisme, hingga gangguan perilaku.

Meski telah memenuhi kompetensi mengajar, jalan menuju status ASN tetap tertutup. Kondisi ekonomi keluarga membuatnya harus memilih prioritas.

Dedi Supriatna (58), seorang guru sukwan yang telah mengabdikan lebih dari 30 tahun. Foto: Rizky Zaenal Mutaqin/tasikmalayaku.id

“Waktu itu saya harus pilih, lanjut kuliah atau biayai sekolah anak. Akhirnya saya pilih anak-anak.” katanya pelan.

Sebagai guru sukarelawan, Dedi pernah menerima honor hanya Rp50 ribu per bulan, bahkan sering dicicil. Untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, ia bekerja sebagai ojek sepulang mengajar.

Kini, honor yang diterimanya berkisar Rp2 juta per bulan, namun prinsip hidupnya tetap sederhana.

“Yang penting anak-anak bisa belajar dengan tenang. Soal gaji kecil, ya saya jalani saja,” ucapnya saat ditemui Selasa (25/11/2025).

Selama puluhan tahun, Dedi tidak hanya menjadi guru. Ia juga menjadi pengasuh, pendamping, bahkan driver antar-jemput murid tanpa pernah meminta biaya bensin.

Ia mengajar sekitar 10 siswa, sebagian besar anak autisme. Metode ceramah konvensional jarang ia gunakan. Sebaliknya, ia memilih pembelajaran berbasis pengalaman nyata.

Dedi bercerita, ia pernah membawa murid mengunjungi stasiun kereta dan terminal bus satu per satu menggunakan motor tuanya, agar mereka mengenal ruang publik dan interaksi sosial.

Kepala SLB Insan Sejahtera, H. Tata Tajudin, menyebutkan bahwa pengabdian Dedi melampaui batas tugas formal seorang guru.

“Ada anak autisme yang tidak bisa disentuh siapa pun, tetapi justru tenang bila bersama Pak Dedi. Bahkan, pernah ada yang tinggal di rumah beliau untuk sementara waktu,” ujar Tata.

Penghargaan tahun ini menjadi pengakuan bagi perjuangan panjang seorang guru dengan semangat pengabdian tinggi, meski tanpa gelar, tanpa status, dan tanpa fasilitas seperti rekan-rekannya yang berstatus ASN.

Dedi berharap hanya satu hal:

“Selama saya masih bisa berdiri, saya ingin terus mendampingi mereka. Karena setiap anak istimewa hanya butuh satu hal: kesempatan.” (Rizky Zaenal Mutaqin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *