TASIKMALAYAKU.ID – Lonjakan harga kelapa bulat yang sempat menembus Rp30.000 per butir membuat pemerintah bergerak cepat. Salah satu langkah yang akan diambil adalah menerapkan pungutan ekspor (PE) untuk komoditas ini, demi meredam harga dan menjaga pasokan di dalam negeri.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyatakan, aturan soal pungutan ini akan segera diberlakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dalam waktu dekat. “Kita ingin ada keseimbangan. Jangan semua kelapa lari ke luar negeri, industri kita bisa kekurangan,” ujar Zulhas saat ditemui di kantor Kemendag pada 19 Mei 2025.
Ia menambahkan, surat keputusan mengenai PE sebenarnya sudah ada, tinggal menunggu pengesahan resmi. “Kalau nggak salah besok atau minggu ini. Suratnya sudah ada, cuma saya lupa tanggal pastinya,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan memang mengusulkan agar ada pengaturan ekspor kelapa. Namun keputusan final tetap berada di tangan Kementerian Keuangan.
BACA JUGA : Koperasi Merah Putih, Langkah Nyata Transformasi Sosial di Pedesaan
Kebijakan ini tak hanya bertujuan menstabilkan harga dalam negeri, tapi juga mengupayakan agar petani dan pelaku ekspor tetap mendapat untung. Pemerintah berharap, semua pihak—baik pelaku industri maupun eksportir—bisa diuntungkan tanpa mengorbankan pasokan dalam negeri.
Apa penyebab harga kelapa tiba-tiba melonjak? Menurut Zulhas, tingginya permintaan dari China jadi pemicu utamanya. Negeri Tirai Bambu saat ini sedang tren mencampur kopi dengan santan kelapa, bukan lagi susu sapi. “Sekarang orang di sana minum kopi pakai santan. Jadilah kelapa langka dan mahal,” katanya.
Tak heran, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor kelapa bulat ke China mencapai lebih dari 68 ribu ton hanya dalam dua bulan pertama 2025. Sementara total ekspor kelapa Indonesia pada periode yang sama tercatat 71 ribu ton. Di sisi lain, produksi kelapa nasional justru menurun 0,5 persen akibat El Nino, menjadi 14,11 miliar butir pada 2024.
Situasi ini membuat pelaku industri dalam negeri waswas. Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) menyatakan bahwa ekspor besar-besaran bisa membuat industri lokal kekurangan bahan baku. Beberapa pabrik bahkan sudah mengurangi produksi, bahkan menghentikan operasional sementara.
Dippos Naloanro Simanjuntak dari HIPKI menyebut belum ada solusi nyata atas kelangkaan ini. “Kami kesulitan. Kelapa susah didapat, sementara kebutuhan tetap jalan,” ungkapnya.
Dengan diberlakukannya pungutan ekspor, pemerintah berharap bisa meredakan gejolak pasar dan memastikan kelapa tetap tersedia untuk industri dalam negeri—tanpa mematikan peluang ekspor sepenuhnya. (*)