TASIKMALAYA – Kuasa hukum korban kasus dugaan perbuatan asusila yang diduga dilakukan oleh oknum tenaga pendidik Universitas Siliwangi (Unsil) mendatangi Gedung Rektorat, Rabu siang (3/9/2025). Kedatangan tersebut untuk menuntut kejelasan atas surat keberatan yang telah diajukan sejak 4 Agustus 2025, terkait keputusan Rektor Unsil yang dinilai terlalu ringan dalam memberikan sanksi terhadap terduga pelaku.
BACA JUGA : Wali Kota Tasikmalaya Ajak Umat Jadikan Maulid Nabi Momentum Jaga Persatuan dan Kondusivitas
BACA JUGA : Geger Kasus Kekerasan Seksual di Unsil, Rektor Ambil Alih Penanganan!
Kuasa hukum korban, Topan Prabowo, S.H., menegaskan bahwa pihak universitas hingga kini belum memberikan jawaban resmi atas keberatan yang dilayangkan. Menurutnya, sebagai pejabat Tata Usaha Negara (TUN), Rektor Unsil memiliki kewajiban hukum untuk merespons surat keberatan tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban administratif.

“Kami meminta agar pihak universitas serius menyikapi hal ini dan memberikan jawaban yang jelas, demi menegakkan keadilan bagi korban,” ujar Topan saat ditemui di lingkungan kampus Universitas Siliwangi.
Dalam waktu bersamaan, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Unsil juga menggelar audiensi di Gedung Rektorat. Mereka menyampaikan aspirasi terkait maraknya kasus pelecehan seksual yang melibatkan oknum tenaga pendidik di lingkungan kampus.
PMII menuntut agar pihak rektorat mengambil langkah tegas, transparan, dan memberikan jaminan perlindungan terhadap mahasiswa, khususnya mahasiswi, agar kampus menjadi ruang yang aman dan bebas dari praktik pelecehan seksual.
“Kasus ini bukan hanya soal sanksi kepada pelaku, tetapi menyangkut marwah perguruan tinggi yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan moralitas. Unsil harus memastikan lingkungan akademik bebas dari tindakan asusila,” tegas perwakilan PMII dalam audiensi.
Topan menambahkan, sikap pasif dan minim respons dari pihak universitas membuat publik meragukan komitmen Unsil dalam menjaga keamanan serta kenyamanan sivitas akademika. Ia menilai penanganan yang lamban dapat menimbulkan preseden buruk bagi dunia pendidikan tinggi.
Kasus ini pun kini menjadi sorotan publik, tidak hanya karena menyangkut hak-hak korban, tetapi juga terkait konsistensi lembaga pendidikan tinggi dalam menegakkan aturan, keadilan, serta perlindungan terhadap seluruh sivitas akademika. (rzm)