TASIKMLAYA — Angka Anak Tidak Sekolah (ATS) di Kabupaten Tasikmalaya kembali menjadi sorotan setelah data terbaru menunjukkan jumlah yang masih cukup tinggi. Berdasarkan Dashboard ATS Pusdatin per 3 Oktober 2025, tercatat lebih dari 29 ribu anak di Kabupaten Tasikmalaya tidak sedang mengikuti pendidikan formal.
BACA JUGA : Pengurus Baru KORMI Tasikmalaya Dilantik, Ini Harapan Wabup Asep Sopari
Data tersebut merinci, 9.458 anak belum pernah bersekolah (BPB), 8.821 anak putus sekolah, dan 11.670 anak lulusan SD yang tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Angka ini menunjukkan bahwa persoalan partisipasi pendidikan masih menjadi tantangan besar pemerintah daerah.
Kondisi tersebut dinilai dapat memicu dampak sosial lebih luas. Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya, Edi Ruswandi Hidayatuloh, mengatakan bahwa tingginya angka anak putus sekolah tidak hanya berpengaruh pada indeks pendidikan, tetapi juga dapat berdampak pada kualitas hidup masyarakat.

“Jika anak tidak bersekolah, mereka lebih rentan terpengaruh lingkungan negatif. Bahkan, dalam beberapa kasus dapat memicu meningkatnya angka kenakalan remaja dan kriminalitas,” ujar Edi, (21/11/2025).
Ia menegaskan, sebagian besar anak berhenti sekolah bukan karena keinginan sendiri, melainkan akibat kurangnya perhatian, motivasi, dan pendampingan orang tua. Faktor ekonomi menjadi penyebab paling dominan, diikuti rendahnya minat belajar, pernikahan dini, hingga pengaruh lingkungan pergaulan.
Selain itu, fenomena perpindahan anak ke pesantren yang belum tercatat dalam EMIS atau Dapodik juga turut berkontribusi pada tingginya angka ATS.
Edi menekankan bahwa penanganan ATS bukan sekadar program, tetapi merupakan mandat hukum. Negara sudah mengatur dalam:
-
UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1–2
-
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
-
Undang-Undang Perlindungan Anak
yang secara jelas menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak dan pemerintah wajib memastikan hak tersebut terpenuhi.
“Tidak boleh ada anak yang terhambat dalam akses pendidikan. Ini amanat konstitusi,” tegasnya.
Dalam upaya menurunkan angka anak putus sekolah, pemerintah juga mendorong peran aktif pemerintah desa. Hal ini sejalan dengan amanat UU No. 3 Tahun 2024, yang memberikan ruang lebih besar kepada desa dalam mengoptimalkan pelayanan dasar termasuk pendidikan.
Menurut Edi, pemerintah desa dapat berperan dalam:
-
Mengidentifikasi anak yang berisiko putus sekolah
-
Memberikan pendampingan dan edukasi kepada keluarga
-
Menghubungkan anak dengan bantuan pendidikan yang tersedia
-
Melakukan pemantauan keberlanjutan bersekolah
Ia berharap kolaborasi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan penurunan angka ATS di Kabupaten Tasikmalaya.
“Ini bukan hanya tugas guru atau sekolah, tetapi tanggung jawab bersama — orang tua, desa, masyarakat, dan pemerintah,” ujar Edi.
Dengan adanya data terbaru ini, pemerintah daerah berkomitmen melakukan evaluasi dan percepatan penanganan anak putus sekolah melalui pendataan lebih akurat, pemberian bantuan berbasis kebutuhan, dan strategi intervensi yang lebih tepat sasaran.
Pemerintah berharap melalui kolaborasi lintas sektor, angka ATS dapat ditekan secara bertahap agar semua anak di Kabupaten Tasikmalaya mendapatkan hak pendidikan yang layak dan setara. (LS)












