Politik

Iran, Selat Hormuz, dan Ancaman Perang Dunia III

×

Iran, Selat Hormuz, dan Ancaman Perang Dunia III

Sebarkan artikel ini
iran vs israel
Perang Israel vs Iran kian memanas. Kedua kubu saling balas dengan lesakkan rudal mereka.

TASIKMALAYA – Ketegangan geopolitik global meningkat tajam. Amerika Serikat menyerang tiga fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni 2025. Sebagai respons, selain Iran mermbombardir kembali Israel, juga pihak Parlemen Iran menyetujui rencana penutupan Selat Hormuz. Langkah ini berpotensi memicu konflik besar yang mengancam kestabilan global.

Melihat fenomena Israel semakin terpojok dan diambang kekalahan, Presiden AS Donald Trump gercep (gerak cepat) memerintahkan pemboman terhadap fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan. Pesawat pengebom B-2 yang terkenal pesawat siluman menjatuhkan bom GBU-57A/B Massive Ordnance Penetrator. Amerika nampaknyha belum puas. Dalam rentetan yang sama kapal selam Angkatan Laut AS meluncurkan 30 rudal jelajah Tomahawk. Serangan itu menghantam dua lokasi penting lainnya.

Fasilitas yang diserang tak ecek-ecek. Pasukan Amerika Serikat (AS) membombardir empat tempat yang menjadi pusat pengembangan program nuklir Iran. Meskipun AS mengklaim bertindak demi keamanan global, justeru serangan AS ini mendapat kecaman dari dunia. Serangan AS menyalahi prinsip kedaulatan negara. Hingga kini negara- negara di dunia masih terus mengecam AS, termasuk khalayak internasional melalui berbagai flatform media sosial.

Mendapat serangan bom dari AS tak membuat Iran gentar. Iran tak tinggal diam, dan ia akan melakukan balasan ke AS sebagai bentuk pembelaan diri sebagaimana diatur Piagam PBB Pasal 51. “You jual gua beli” itulah barangkali prinsip Iran dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.

Sikap tegas Iran menyikapi invasi AS mendapat pujian para pemimpin negara termasuk rakyat dari berbagai lapisan negara di dunia ini. Tidak sedikit dari mereka berkomentar keberanian Iran melawan AS dan Israel sebagai petanda di mulainya perang dunia ketiga manakala PBB dan pemimpin dunia diam seribu bahasa tanpa ada upaya diplomasi greget menuju perdamaian abadi.

Piagam PBB VS Selat Hormuz

Piagam PBB pada prinsipnya mengatur bahwa negara memiliki hak membela diri secara individual maupun kolektif ketika mendapat serangan dari negbara lain. Dalam konsteks ini saya sepakat dengan pandangan pemimpin Iran bahwa serangan AS sebagai bentuk pelanggaran yang sah untuk dibalas. Berdasarkan Pasal 51, Iran dapat melakukan tindakan militer sementara sambil menunggu keputusan Dewan Keamanan PBB.

Lebih dari itu, saya juga berpendapat Iran berhak bersekutu dengan negara lain untuk mempertahankan kedaulatannya. Ini artinya, perang yang semula bersifat bilateral tidak bisa menutup kemungkinan dalam waktu cepat bisa berubah dan berkembang menjadi konflik multinasional.

Perubahan eskalasi inilah pada prinsipnya yang membuat kekhawatiran banyak pihak akan dimulainya Perang Dunia (PD) ke-3. Apalagi perang sengit ini diawali dari kawasan Timur Tengah yang memang sudah lama menjadi titik rawan konflik dunia.

Mendapat serangan dari AS tentu saja membuat Iran murka. Sebagai negara penguasai jalur penting di kawasan Teluk, Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz yang merupakan titik transit 20% dari minyak dunia. Duania pun kembali merasa prihantin atas keputusan Iran tersebut. Langkah Iran diniai dunia bukan sekadar reaksi emosional. Justeru dalam persoalan ini Iran menggunakan kekuatan ekonominya untuk menekan negara-negara Barat.

Komandan Garda Revolusi Esmail Kosari menyatakan penutupan akan dilakukan kapan pun diperlukan. Hal ini menunjukkan Iran serius mempertimbangkan strategi ini sebagai bentuk pertahanan nasional. Hebatnya lagi, Parlemen Iran telah menyetujui opsi ini, sekalipun masih menunggu keputusan akhir dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran.

NATO dan Hukum Internasional

Melihat perang sengit antara Iran versus Israel dan Amerika Serikat mengundang banyak pertanyaan dunia seputar keberadaan NATO. Organisasi pertahanan yang memiliki 32 anggota itu seolah diam menghadapi situasi memanas. Padahal, NATO memiliki mandat menjaga perdamaian kawasan Atlantik Utara. Dengan struktur komando militer yang kuat, NATO seharusnya mampu mendorong penyelesaian damai.

Sayangnya, hingga kini, NATO tetap meilih bisu. Padahal, dunia menanti suara emas NATO berupa pernyataan yang dapat menyejukkan dunia. NATO yang bermarkas di Brussels, seolah menutup mata atas tindakan sepihak AS. Aliansi ini justru membiarkan salah satu anggotanya melakukan agresi terbuka. Jika NATO tetap pasif, kredibilitasnya sebagai penjamin perdamaian akan dipertanyakan.

Setali dua uang. Itulah realitas Nato dan Mahkamah Internasional saat ini. Dalam konflik Iran versus Israel dan AS, Mahkamah Internasional seolah membiarkan konflik ini berlarut.

Mahkamah Internasional (ICJ) hingga kini belum melakukan tindakan nyata terhadap tiga neghara yang terlibat peperangan. Padahal, Mahkamah Internasional wajib mengambil tindakan terhadap pelanggaran hukum perang.

Amerika Serikat telah menyerang Iran secara langsung tanpa mandat Dewan Keamanan PBB. Dalam persoalan ini Mahkamah Internasional (ICJ) harus bersikap adil. Iran memiliki hak untuk membela diri.

Sebaliknya, AS perlu mempertanggungjawabkan tindakannya yang melampaui batas. Tanpa keadilan, hukum internasional akan kehilangan maknanya. Untuk itu, saya menghimbau agar Dewan Keamanan PBB harus segera menggelar sidang darurat. Langkah diplomatik perlu didorong agar konflik ini tidak berkembang menjadi perang besar.

Perang Iran melawan Israel, AS dan sekutu bukan sekadar konflik dua negara melainkan sudah menyerat negara-negara besar lainnya seperti Rusia, dan Tiongkok yang berpeluang mendukung Iran. Seandaianya akbat perang ini Selat Hormuz resmi ditutup, ekonomi global akan terguncang, sehingga berpotensi terjadinya resesi global.

Bukan hanya sebatas ekonomi, perang Iran versus Israel dan AS jika tetap dibiarkan akan memakan banyak korban sipil dari kektiga negara tersebut. Ribuan nyawa akan hilang. Kita harus belajar banyak dari Irak, Suriah, dan Ukraina. Konflik bersenjata hanya meninggalkan luka dan penderitaan. Iran dan AS harus membuka ruang dialog. Dunia internasional wajib mendorong perundingan, bukan memperkeruh keadaan. Kehadiran komunitas global sangat diperlukan.

Negara-negara nonblok, organisasi regional, dan PBB harus bersatu menggalang perdamaian jangan menunggu kehancuran. Negara-negara di dunia kini tengah menunggu nyaringnya suara perdamaian darimu bukan suara teriakan peperangan yang akan menghancurkan peradaban dunia.

 

 

(Penulis adalah Sultan Patrakusumah VIII Trustee Guarantee Phoenix Ina 18, dan Pemerhati Kebijakan Publik).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *