TASIKMALAYAKU.ID – Pada sore yang hangat di ujung Mei 2025, aroma nasi liwet dan sambal goreng menyelinap di udara. Di Kampung Dago, Desa Linggamulya, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya, satu per satu warga keluar dari rumah dengan membawa baki berisi lauk pauk. Daun pisang sudah digelar sepanjang gang selebar dua meter, membentang hampir 70 meter tanpa putus.
Anak-anak berlarian membawa piring, sementara para ibu sibuk menata ayam goreng dan tahu tempe di atas alas hijau alami itu.
Namun, ini bukan hari raya. Ini adalah perayaan kemenangan. Persib Bandung, tim sepak bola yang mereka cintai, baru saja menjuarai Liga 1 musim 2024/2025.
Di tempat-tempat lain, euforia mungkin ditunjukkan dengan arak-arakan kendaraan atau pesta kembang api. Tapi di sini, di kampung kecil yang dikelilingi perbukitan dan hamparan sawah, perayaan berlangsung dalam bentuk yang lebih akrab dan membumi yaitu tumpengan.

Tradisi syukuran ala Sunda itu digelar di tengah gang, bukan hanya sebagai luapan kegembiraan, tapi juga sebagai bentuk solidaritas sosial yang telah bertahun-tahun dipelihara.
Sudah lima tahun terakhir, gang kecil ini dikenal sebagai Gang Persib. Bukan nama resmi, tapi panggilan yang lahir dari kebanggaan. Hampir seluruh warganya adalah Bobotoh garis keras. Mereka tidak hanya menonton Persib. Mereka hidup dengan Persib.
BACA JUGA : Dedi Mulyadi Jual Empat Sapi Pribadi untuk Bonus Persib Rp200 Juta, Rp800 Juta dari Tabungan
“Kampung ini memang punya jiwa Persib dari dulu. Setiap ada pertandingan, gang ditutup, layar dipasang. Rasanya kayak di stadion,” kata Edo Maulana, warga setempat yang kerap menjadi motor penggerak berbagai kegiatan Persib di kampung ini. Ia lebih dikenal dengan nama panggilan “Edo Maung.”
Setiap kali Persib bertanding, seluruh aktivitas di gang utama terhenti. Warga menggelar nobar (nonton bareng), lengkap dengan teriakan, nyanyian, dan bendera biru.
Mereka mengatur sendiri lalu lintas, memasang proyektor, dan membawa kursi dari rumah masing-masing. Tidak ada sponsor. Tidak ada tiket. Semua murni hasil iuran warga yang disatukan oleh satu hal yakni rasa memiliki terhadap klub sepak bola yang lahir dari jantung Jawa Barat itu.
“Kalau bukan karena gotong royong, tidak mungkin semua ini bisa terlaksana,” ujar Rizkar, seorang warga senior. Ia menyebut bahwa sejak lama masyarakat Kampung Dago terbiasa mengumpulkan dana sukarela untuk kegiatan bersama.
Tasyakur binikmah atau syukuran atas nikmat dalam hal ini kemenangan Persib, menjadi ruang sosial yang melampaui sekadar pesta. Di sinilah nilai-nilai kekeluargaan diuji dan dikuatkan.
Perayaan ini bukan hanya tentang makan bersama, tapi tentang mengikat kembali simpul-simpul silaturahmi yang mungkin longgar dalam keseharian.

Persib Bandung, dalam konteks Kampung Dago, bukan sekadar klub. Ia telah menjadi simbol identitas kolektif. Ia menjadi bahasa yang dipahami lintas usia, bahkan lintas generasi.
Dari bocah lima tahun hingga kakek tua yang jalannya tertatih, semua bersorak dengan semangat yang sama saat Maung Bandung mencetak gol.
Tak sulit menemukan alasan mengapa Gang Persib seperti ini lahir. Di banyak tempat di Jawa Barat, sepak bola adalah urat nadi budaya. Ia hidup dalam obrolan warung kopi, mural dinding, hingga nama gang.
“Yang bikin beda, di sini itu semuanya satu suara. Nggak ada yang setengah-setengah kalau soal Persib. Kompak pisan,” tutur Edo Maung, dengan nada bangga.
Kini, ketika tumpeng sudah habis disantap dan daun pisang digulung kembali, bukan berarti perayaan berakhir. Di benak warga Kampung Dago, kemenangan ini akan terus dikenang.
Sebab setiap keberhasilan Persib adalah cermin dari perjuangan mereka sendiri kompak, sederhana, dan penuh semangat.
Dan di sinilah letak kekuatan sebenarnya dari Gang Persib, bukan pada ukuran gangnya, bukan pada megahnya perayaan, tapi pada rasa bersama yang tak mudah dipatahkan. Karena bagi mereka, sepak bola bukan sekadar tontonan. Ia adalah rumah. (*)