TASIKMALAYA – Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait penambahan kuota penerimaan siswa di sekolah negeri menuai gelombang penolakan keras. Forum Kepala SMA Swasta se-Jawa Barat menuding kebijakan tersebut tidak hanya melanggar aturan pusat, tetapi juga mengancam kelangsungan ribuan sekolah swasta yang telah lama menopang akses pendidikan menengah di provinsi ini.
Dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor: 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan Menengah, Dedi memberi mandat kepada sekolah negeri untuk menampung tambahan hingga 50 siswa baru per sekolah. Kebijakan ini diklaim sebagai upaya menekan angka putus sekolah. Namun di balik niat mulia itu, para kepala SMA swasta menilai aturan ini problematik dan bias kepentingan.
“Kami anggap ini langkah sepihak dan gegabah. Kebijakan ini dibuat tanpa dialog dengan pemangku kepentingan, dan keluar di saat proses Penerimaan Murid Baru sudah nyaris rampung. Ini jelas bukan solusi, melainkan bom waktu,” tegas Ketua Forum Kepala SMA Swasta Jawa Barat, Ade D. Hendriana, (2/7/2025), dikutip dari tempo.co.
Ade menilai kebijakan tersebut melanggar aturan teknis yang ditetapkan pemerintah pusat, terutama terkait batas maksimal kapasitas ruang kelas dan jumlah siswa per rombongan belajar.
“Peraturan Menteri sudah jelas. Kapasitas siswa di satuan pendidikan menengah harus disesuaikan dengan ukuran ruang kelas dan rasio ideal pengajaran. Tapi kebijakan ini justru membuka celah pelanggaran sistematis terhadap aturan itu,” ucapnya.
BACA JUGA : Dedi Mulyadi: Pendidikan Barak Militer Dikecam, Korupsi Triliunan di Kementerian Pendidikan kok Sepi?
Tak hanya persoalan teknis, Ade menilai keputusan Gubernur Jabar berpotensi menghancurkan ekosistem pendidikan swasta yang selama ini berjalan berdampingan dengan sekolah negeri.
Menurutnya, langkah penambahan kuota di sekolah negeri tanpa kontrol ketat justru menutup kesempatan bagi sekolah swasta untuk tumbuh, bahkan membuat banyak di antaranya terancam gulung tikar.
“Ini kebijakan yang membunuh sekolah swasta secara perlahan. Sekolah negeri diperluas secara tiba-tiba, sekolah swasta kehilangan murid. Lalu kami ini mau dikemanakan?” ujar Ade dengan nada tinggi.
Forum juga menuding kebijakan tersebut membuka peluang praktik titipan dan manipulasi dalam sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).
“Kebijakan ini muncul tiba-tiba di akhir proses PPDB. Ini tidak hanya melabrak SOP, tapi juga merusak kredibilitas sistem. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan karena berpotensi membuka ruang siswa titipan dari oknum-oknum yang memanfaatkan kekacauan ini,” katanya.
Dalam upaya menekan keputusan tersebut, Forum Kepala SMA Swasta telah mengirim surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Surat serupa juga dikirim ke DPRD Provinsi Jawa Barat dan jajaran pengurus Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS).
Ade menyebut pihaknya memberi waktu terbatas kepada pemerintah untuk merespons. Jika tidak ada langkah korektif, mereka siap menggugat kebijakan tersebut ke ranah hukum.
“Kami tak akan tinggal diam. Jika perlu, kami ajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ini bukan hanya soal kuota, tapi soal keadilan dan kelangsungan pendidikan yang sehat,” tandasnya.
Sampai saat ini, Gubernur Dedi Mulyadi maupun Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat belum memberikan tanggapan atas gelombang penolakan ini.
Sementara itu, gejolak di lapangan terus meluas, seiring munculnya kekhawatiran bahwa pendidikan di Jawa Barat akan makin terbelah antara yang negeri dan yang swasta. (*)