Politik

Eskalasi Iran–Israel: Proxy War, Genosida, dan Ancaman Perang Dunia, Masih Adakah PBB?

×

Eskalasi Iran–Israel: Proxy War, Genosida, dan Ancaman Perang Dunia, Masih Adakah PBB?

Sebarkan artikel ini
Rohidin, SH, MH, M.Si

TASIKMALAYA – Konflik sengit Iran versus Israel telah mencapai titik genting. Berbagai kalangan menilai serangan militer Israel terhadap Iran tiada lain merupakan bentuk perang proksi dengan menerapkan strategi pre-emptive strike.

Hal ini terindikasi kuat dari langkah Israel yang menyerang Iran tanpa deklarasi perang. Karenanya, saya berani mengatakan tindakan Israel ini lebih menyerupai perang proksi.

Dalam konteks ini, tentu saja tidak bisa lepas dari Amerika Serikat. Pasalnya, negara adi daya ini dapat dikatakan sebagai aktor penting di balik meletusnya konflik kedua negara.

Bahkan, Amerika Searikat yang terang-terangan mendukung Israel terus meneruas mencurahkan kekuatanya mulai dari militer, intelijen, termasuk teknologi yang dibutuhkan Israel dalam menjalankan misinya.

Pulgarnya dukungan Amerika, pada prinsipnya mempertontonkan arah kebijakan luar negeri mereka yang cenderung pro-Israel. Tidaklah salah jika saya menanalisis bahwa konfik ini sengaja dipelihara untuk kepentingan global tertentu.

 

Di tengah konflik sengit antara Israel vesus Iran, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah gagal menjalankan fungsinya. Perserikat Bangsa-Bangsa tidak berani mengeluarkan sebuah keputusan yang spektakuker demi menyelamatkan umat manusia.

Perserikat Bangsa-Bangsa hanya berani mengeluarkan kecaman dan resolusi dan itu pun sama sekali tidak membuahkan hasil secara nyata.

Karenanya, tak perlu heran dalam perspektif konflik ini PBB dipandang masyarakat dunia sebagai lembaga dunia banci yang kehadirannya tidak relevan dan sudah tidak bisa diharapkan lagi sebagai penegak perdamaian.

Begkitu pula keberadaan NATO. Dalam konflik Israel vesrsus Iran sama sekali tak berdaya. Nato, hanya bisa menghimbau, mengecam, dan gugup bahkan tidak berani untuk melakukan tindakan konkret demi menyelamatkan masyarakat dunia dari ancaman dan korban peperangan.

Ketidakberanian NATO dalam mengambil sikap di tengah sengitnya konflik ini membuat masyarakat dunia kecewa. Akibatnya, masyarakat dunia berani memplesetkan akronim NATO (No Action Talk Only) yakni aliansi dunia yang hanya mampu berbicara tanpa tindakan konkret.

Keberpihakan Amerika Serikat, PBB dan NATO kepada Israel bukan hanya dalam persoaan Israel versus Iran akan tetapi yang paling mencolok dalam kasus perang Israel versus Palestina yang terus berkobar hingga kini.

Saya mengamati, Israel dengan kesombongannya terus mempertontonkan kebijakan yang dibalut keras, dan biadab terhadap Palestina. Israel tidak hanya melakukan genosida terhadap rakyat Palestina (Gaza), tetapi ia kini membangun tembok pemisah untuk memisahkan, sekaligus mengisolasi wilayah Gaza. Itulah tindakan nonverbal Israel yang dipandang eksklusif dan represif terhadap warga Gaza.

Di Gaza, Israel tak henti-hentinya melancarkan operasi militer besar-besaran. Warga sipil menjadi korban. Mereka setiap hari harus menghadapi serangan udara, blokade makanan, air, dan obat-obatan.

Aksi yang dilakukan Isreal sangat mirip dengan genosida atau bahkan lebih parah daripada pembersihan etnis yang pernah terjadi di Kamboja oleh rezim Pol Pot. Gaza kini menjadi killing field baru di abad modern. Ribuan warga sipil kehilangan nyawa.

Dunia menyaksikan penderitaan itu setiap hari melalui media. Namun, hanya sedikit negara yang mengambil langkah nyata. Kritik keras terdengar dari berbagai penjuru, tetapi tidak membuahkan perubahan signifikan. Lantas, di manakah PBB dan kawan-kawan?

Konflik Israel versus Palestina, Iran ditambah konflik di Ukraina tidak lagi bersifat lokal, regional namun sudah memperkeruh situasi global. Dunia kini menghadapi dua konflik besar secara bersamaan. Keduanya melibatkan aktor-aktor besar dengan kepentingan geopolitik dan ekonomi yang saling bertabrakan.

Kondisi ini memperkuat kekhawatiran akan pecahnya Perang Dunia ketiga. Untuk itu, beberapa negara di Timur Tengah mulai menunjukkan reaksi tegas. Mereka meningkatkan kesiapan militer dan memperkuat posisi diplomatik.

Dalam pandangan saya konflik regional seringkali digunakan sebagai alat tekanan dalam politik global. Banyak negara besar memanfaatkan krisis untuk memperkuat posisi dalam bidang ekonomi, keuangan, dan diplomasi.

Harga energi, stabilitas mata uang, dan arus perdagangan sangat terpengaruh oleh perkembangan konflik ini. Berdasarkan fenomena itulah, saya berharap para pemimpin dunia harus mengambil sikap tegas dan tidak lagi menunda karena jalan menuju damai masih terbuka.

Kini, pilihan ada di tangan komunitas global. Berdiplomasi nyata demi perdamaian atau membiarkan dunia hancur oleh ambisi segelintir elite kekuasaan. (*/)

Oleh: Rohidin, SH, MH, M.Si

(Penulis adalah Sultan Patrakusumah VIII Trust Of Guarantee Phoenix Ina 18, Pengamat Kebijakan Publik. Tinggal di Tasikmalaya).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *