TASIKMALAYA – Kementerian Kebudayaan resmi meluncurkan buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global di Jakarta, (14/12/2025). Buku ini menghadirkan pembaruan penting dalam penulisan sejarah nasional, salah satunya merevisi narasi lama bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan, anggapan Indonesia dijajah 350 tahun perlu diluruskan sesuai temuan para sejarawan. Menurutnya, narasi tersebut lahir dalam konteks tertentu untuk membangkitkan kesadaran nasional, namun tidak sepenuhnya akurat secara historis.
“Selama ini kita diwarisi pemikiran bahwa Indonesia dijajah 350 tahun. Itu mungkin relevan pada masanya untuk memupuk kesadaran nasional, tetapi kini perlu direvisi. Ini juga hasil kajian para sejarawan,” kata Fadli Zon, dikutip dari detik.com dari kanal YouTube Kemenbud.
Fadli menjelaskan, buku sejarah terbaru ini lebih menonjolkan perlawanan-perlawanan rakyat di berbagai daerah, baik terhadap Belanda, Inggris, maupun Jepang. Pendekatan ini menegaskan bahwa pengalaman penjajahan di Nusantara tidak seragam.
BACA JUGA : Seru dan Edukatif, BNPB Kenalkan Siaga Bencana di SAI Cibinong Bogor
“Yang ditonjolkan adalah perlawanan. Ada daerah yang dijajah 10 tahun, 40 tahun, 100 tahun, bahkan ada yang tidak dijajah sama sekali,” ujarnya.
Pandangan tersebut sejalan dengan riset profesor hukum internasional G.J. Resink dalam karyanya Bukan 350 Tahun Indonesia Dijajah. Resink menegaskan bahwa klaim penjajahan Belanda selama 350 tahun merupakan kekeliruan.

Dalam Jurnal Widya Winayata: Jurnal Pendidikan Sejarah Volume 9 Nomor 3 (Desember 2021), Anju Nofarof Hasudungan mengutip Resink yang menyebutkan bahwa pada periode 1850–1910 masih banyak kerajaan di Nusantara yang berdaulat. Di antaranya Kerajaan Aceh hingga kerajaan-kerajaan di wilayah Sumatera dan Sunda Kecil, termasuk Siak-Riau.
Menurut Resink, persepsi penjajahan 350 tahun menguat akibat pernyataan Gubernur Jenderal Hindia Belanda B.C. de Jonge yang menyebut Belanda telah berada di Nusantara selama 300 tahun dan akan bertahan 300 tahun lagi. Pernyataan itu kemudian dikaitkan dengan pidato Soekarno yang menyebut perjuangan bangsa Indonesia berlangsung beratus-ratus tahun.
Namun, Resink menilai, ungkapan Bung Karno tersebut lebih bersifat retoris untuk membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme, bukan pernyataan historis literal.
Ia juga menjelaskan bahwa selama ratusan tahun tersebut, Nusantara lebih banyak terlibat dalam hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Spanyol dan Portugis. Sayangnya, banyak tulisan kemudian mengaitkan kedatangan bangsa Eropa untuk berdagang sebagai awal penjajahan.
Bahkan, sejak kedatangan VOC pada 20 Maret 1602, berbagai perlawanan sudah terjadi. Sebagian pejabat VOC sempat ditangkap dan dipenjara oleh aparat Kesultanan Banten, menandakan bahwa dominasi kolonial tidak berlangsung mutlak sejak awal.
Peluncuran buku sejarah terbaru ini diharapkan dapat menghadirkan pemahaman sejarah Indonesia yang lebih utuh, kritis, dan berbasis riset, sekaligus menegaskan identitas bangsa sebagai bangsa pejuang, bukan sekadar bangsa terjajah. (LS)












