TASIKMALAYA – Gejolak sosial politik yang meluas dalam negeri kembali menekan pasar keuangan Indonesia. Pada perdagangan Jumat (1/9/2025), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah tajam 1,53% ke level 7.830,49. Tekanan jual asing mencapai Rp 1,12 triliun di seluruh pasar, menjadi sinyal bahwa pelaku global mulai mengambil langkah defensif.
Asing Lepas Blue Chip: BBCA Jadi Sasaran Utama
Data perdagangan memperlihatkan bahwa saham berkapitalisasi besar menjadi target utama aksi jual. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tercatat paling banyak dilepas investor asing dengan nilai net sell mencapai Rp 1,1 triliun. Saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) juga mengalami tekanan dengan penjualan bersih Rp 169,3 miliar, sementara PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADRO) dilepas Rp 109,3 miliar.
Pelepasan saham-saham unggulan ini bukan hanya menekan IHSG, tetapi juga memberi sinyal kuat bahwa investor global mulai mengurangi eksposur pada aset berisiko tinggi.
Menurut Parto Kawito, Direktur Infovesta Utama, skala aksi demonstrasi yang menimbulkan kerusakan fisik telah menjadi katalis negatif.
“Sepertinya asing dan investor domestik akan melakukan aksi jual dalam beberapa hari ke depan,” ujarnya, dikutip dari kontan.co.id.
Kepastian Jadi Barang Mahal
Investor asing dikenal menempatkan kepastian sebagai syarat mutlak sebelum menanamkan modal. Lanjar Nafi, pengamat pasar modal, menegaskan bahwa gejolak dalam negeri langsung menggerus faktor kepastian tersebut. “Ketika ketidakpastian meningkat, risiko dianggap naik,” jelasnya.
Dalam jangka pendek, asing diperkirakan tidak serta merta keluar sepenuhnya dari pasar Indonesia. Namun, aliran dana baru kemungkinan akan tertahan hingga kondisi lebih stabil. Artinya, likuiditas pasar berpotensi menyusut, sementara volatilitas harga saham meningkat.
BACA JUGA : Mulai 1 September 2025 Harga BBM Shell Naik, Stok di SPBU Masih Kosong
Tiga Indikator Kunci yang Dipantau Asing
Menurut Lanjar, ada tiga barometer utama yang kini menjadi perhatian investor global:
-
Nilai Tukar Rupiah
Rupiah merupakan indikator kepercayaan utama. Pelemahan tajam akan dianggap sebagai sinyal risiko makro meningkat. -
Yield Obligasi Negara
Kenaikan signifikan yield menandakan investor meminta premi risiko lebih tinggi untuk memegang surat utang Indonesia. Ini bisa menjadi alarm bagi stabilitas fiskal. -
Arah Kebijakan Pemerintah
Konsistensi serta kejelasan kebijakan fiskal dan moneter akan menentukan persepsi jangka panjang. Inkonsistensi justru memperbesar risiko keluar modal asing.
Ketiga indikator ini akan menjadi “penentu arah” pergerakan asing dalam beberapa pekan ke depan.
Tantangan Otoritas Pasar
Di tengah ketidakpastian, peran otoritas pasar menjadi krusial. Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dituntut lebih proaktif memberikan kepastian kepada publik. Konferensi pers rutin atau rilis data harian mengenai aktivitas pasar dapat membantu meredam rumor dan spekulasi liar.
Selain itu, mekanisme pengendali seperti notasi Unusual Market Activity (UMA) dan trading halt harus digunakan secara tegas untuk mencegah kepanikan massal. Langkah-langkah komunikasi publik dan kebijakan darurat ini akan menjadi ujian kredibilitas regulator di mata investor.
Prospek Jangka Menengah
Jika gejolak politik mereda dan pemerintah berhasil menjaga stabilitas makro, investor asing berpotensi kembali masuk, terutama karena fundamental ekonomi Indonesia masih relatif kuat. Namun, selama ketidakpastian terus berlanjut, risiko aliran modal keluar (capital outflow) akan tetap tinggi.
Dalam konteks regional, Indonesia harus mampu menunjukkan bahwa stabilitas politik dan hukum tetap terjaga. Tanpa itu, keunggulan demografi dan potensi pertumbuhan ekonomi tidak cukup untuk menahan arus keluar dana asing. (LS)