TASIKMALAYA – Jelang senja yang turun perlahan di langit Minggu, 9 November 2025, tebing-tebing dan aliran Sungai Ciwulan menjadi saksi sebuah peristiwa yang tak sekadar indah dipandang mata, tetapi penuh makna mendalam.
Di tengah derasnya air yang mengalir dari lereng Gunung Cikuray, ratusan orang berdiri berjajar sambil menggenggam satu simbol pemersatu, Bendera Merah Putih raksasa yang terbentang memanjang mengikuti alur sungai.
BACA JUGA : 1.878 PPPK Paruh Waktu di Kota Tasikmalaya Segera Dilantik, Tinggal Tunggu Tanda Tangan Wali Kota
Sorak-sorai, tawa, dan kamera yang mengabadikan momen berpadu dengan gemuruh arus air, menghadirkan suasana yang lebih dari sekadar perayaan. Ada kesadaran yang tumbuh bahwa sungai bukan hanya aliran air, melainkan nadi kehidupan yang membesarkan Tasikmalaya dari masa ke masa.
Peristiwa ini merupakan bagian dari Festival Sungai Tasik Baseuh ke-9, sebuah gerakan budaya dan lingkungan yang telah dikenal sebagai ruang kolaborasi antara olahraga arus deras, edukasi ekologis, tradisi kampung, ekonomi UMKM, hingga gerakan sosial untuk merawat sungai.
Tahun ini, festival yang berlangsung pada 7–9 November 2025 itu sekaligus menjadi bagian dari peringatan Hari Jadi Kota Tasikmalaya ke-24.

Yang menarik, tak hanya warga lokal dan komunitas dari Jawa Barat, peserta juga datang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan ada yang berasal dari Inggris. Dari anak sekolah, pecinta petualangan, ibu rumah tangga, hingga tokoh lingkungan nasional, semua melebur tanpa sekat.
“Sungai Itu Pernah Jadi Halaman Depan Rumah Kita”
Ketua pelaksana festival, Asep Maksum akrab disapa Chopet, menegaskan bahwa Tasik Baseuh bukan sekadar kegiatan wisata air.
“Sungai itu dulu halaman depan rumah orang Tasikmalaya. Sekarang banyak yang terputus hubungannya. Kami ingin menyambungkannya kembali,”
ujar Chopet, Selasa (11/11/2025).
Menurutnya, aksi membentangkan Bendera Merah Putih di bantaran Sungai Ciwulan merupakan ajakan untuk mengingat perjuangan, bukan hanya melawan penjajah, tapi juga melawan lupa.
“Menjaga sungai adalah bentuk kepahlawanan hari ini,” tegasnya.
Festival yang Menyatukan Petualangan dan Kesadaran
Selama tiga hari pelaksanaan, Tasik Baseuh menghadirkan berbagai kegiatan: fun rafting, kayaking, dan riverboarding di lintasan tengah Sungai Ciwulan, serta Jambore Kayak Indonesia yang mempertemukan komunitas pecinta arus deras se-Indonesia.
Ada pula pelatihan keselamatan sungai dan teknik pengelolaan arus, pasar rakyat berbasis UMKM, serta panggung edukasi dan diskusi river culture.
Dua nama besar dalam olahraga petualangan sungai Indonesia, Lody Korua dan Made Brown, juga turut hadir keduanya dikenal lewat ekspedisi sungai lintas Nusantara dari Papua hingga Kalimantan.
Ciwulan: Sungai yang Menyimpan Cerita dan Ancaman
Secara geografis dan budaya, Sungai Ciwulan memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat Tasikmalaya. Sungai ini menjadi sumber irigasi pertanian, jalur interaksi antar kampung sejak masa kolonial, hingga menopang ekonomi rakyat melalui perikanan air tawar, kerajinan bambu, dan wisata air.
Namun, kini Ciwulan menghadapi tantangan besar: pencemaran mikroplastik.
Penelitian ECOTON (Ecological Observation and Wetlands Conservation) mencatat partikel mikroplastik telah ditemukan di air, sedimen, bahkan pada ikan yang dikonsumsi warga.
Penyebabnya, kata Chopet, mulai dari limbah rumah tangga, konsumsi plastik sekali pakai, hingga rendahnya budaya merawat sungai.
“Cinta Tanah Air Dimulai dari Merawat Tempat Kita Berdiri”
Pesan yang paling menggugah datang dari Presiden Republik Aer Tasikmalaya, Harniwan Obech.
“Kita ini dibesarkan oleh air yang sama. Sungai ini mengalir dalam hidup dan cerita kita. Kalau sungai rusak, bagian dari diri kita ikut rusak,”
tuturnya.
Ia menyebut aksi pembentangan bendera Merah Putih itu sebagai manifesto perlawanan perlawanan terhadap pencemaran, terhadap lupa asal-usul, dan terhadap hilangnya identitas warga sungai.
“Ini bukan seremoni. Ini pengingat, bahwa cinta tanah air dimulai dari merawat tempat kita berdiri,”
pungkasnya. (Rizky Zaenal Mutaqin)












