TASIKMALAYA – Tepat di peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025), sebuah nama yang selama tiga dekade menjadi simbol perlawanan kaum buruh akhirnya mendapatkan pengakuan tertinggi dari negara.
Presiden Prabowo Subianto secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah, aktivis buruh yang gugur setelah memperjuangkan keadilan di era Orde Baru.
BACA JUGA : Marsinah Resmi Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional, Simbol Perjuangan Buruh Indonesia
Penganugerahan ini menjadi momen bersejarah yang menandai akhir penantian 32 tahun sejak kematiannya yang tragis, sekaligus pemenuhan janji Presiden Prabowo pada peringatan Hari Buruh (May Day) beberapa waktu lalu.
Siapa Marsinah? Suara Perempuan dari Pabrik
Marsinah adalah seorang buruh perempuan dari PT Catur Putera Surya (CPS), Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Di tengah iklim ketakutan pada masa Orde Baru, ia tampil sebagai sosok vokal yang berani memperjuangkan hak-hak dasar para pekerja.
Bagi banyak orang, Marsinah bukan sekadar buruh. Ia adalah simbol keberanian, yang bersuara ketika banyak yang memilih diam.

Perjuangan Dimulai dari Upah Minimum
Segalanya bermula dari tuntutan sederhana. Pemerintah Provinsi Jawa Timur kala itu telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp2.250 per bulan, namun perusahaan tempat Marsinah bekerja menolak memberlakukannya.
Alih-alih menaikkan gaji pokok, PT CPS hanya menambah tunjangan. Marsinah menolak akal-akalan tersebut karena tahu, jika buruh sakit atau cuti, tunjangan itu tidak akan dibayarkan.
Ia menuntut kenaikan gaji pokok, bukan tunjangan—tuntutan yang kelak membuatnya dibungkam secara keji.
Diculik, Disiksa, Dibungkam
Aksi mogok kerja yang dipimpin Marsinah memancing reaksi keras dari aparat militer, yang kala itu kerap “menengahi” konflik perburuhan dengan cara represif.
Beberapa rekan Marsinah dipanggil ke Komando Distrik Militer (Kodim) dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Marah dan tak terima, Marsinah memutuskan mendatangi Kodim untuk menuntut keadilan.
Itulah kali terakhir ia terlihat hidup.
Tiga hari kemudian, tubuh Marsinah ditemukan di sebuah gubuk di Nganjuk, dengan luka penyiksaan yang mengenaskan. Hasil visum menunjukkan tulang-tulangnya patah, organ dalam rusak, dan tanda-tanda kekerasan berat di sekujur tubuhnya.
Luka Panjang Keadilan
Kasus Marsinah menjadi salah satu catatan paling kelam dalam sejarah hak asasi manusia di Indonesia.
Meski sembilan orang sempat diadili, Mahkamah Agung pada 1999 membatalkan seluruh vonis karena dianggap tidak cukup bukti. Hingga kini, pelaku dan dalang pembunuhan Marsinah tak pernah diungkap.
Pengakuan Setelah 32 Tahun
Kini, setelah lebih dari tiga dekade, negara akhirnya mengakui Marsinah bukanlah “pembangkang”, melainkan pejuang sejati yang gugur demi memperjuangkan martabat kaum buruh.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional menjadi bentuk pengakuan dan pemulihan moral bagi perempuan yang telah lama menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan. (LS)












