Nasional

Eggi Sudjana Nilai Penetapan Tersangka dalam Kasus Ijazah Palsu Jokowi Sarat Keanehan Hukum

×

Eggi Sudjana Nilai Penetapan Tersangka dalam Kasus Ijazah Palsu Jokowi Sarat Keanehan Hukum

Sebarkan artikel ini
Pengacara dan aktivis, Eggi Sudjana

TASIKMALAYA – Pengacara Eggi Sudjana menilai penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan fitnah terkait tuduhan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan adanya keanehan dalam penegakan hukum di Indonesia. Ia menegaskan, tindakannya dilakukan dalam kapasitas sebagai advokat yang semestinya mendapat perlindungan hukum sesuai undang-undang.

BACA JUGA : Polda Metro Jaya Tetapkan 8 Tersangka Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi, Siapa Saja?

Dalam pernyataannya di kanal YouTube Refly Harun, (9/11/2025), Eggi mengungkapkan bahwa logika hukum dalam perkara tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.

“Ada keanehan hukum, nah itu istilah saya. Aneh dalam perspektif logika yang tidak seharusnya, kenapa seharusnya terjadi,” ujar Eggi.

Eggi menjelaskan, dalam kasus tersebut ia bertindak sebagai advokat bagi Bambang Tri Mulyono dan Gus Nur pada tahun 2022. Menurutnya, tindakan profesionalnya sebagai pengacara seharusnya mendapat perlindungan hukum berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang memberikan hak imunitas bagi advokat dalam menjalankan tugasnya.

Pengacara dan aktivis, Eggi Sudjana

“Saya bertindak dalam konteks yang dilaporkan ini sebagai advokat oleh saudara Joko Widodo. Oleh karena itu, menurut pasal 16, advokat tidak bisa digugat perdata dan dituntut pidana. Itu undang-undang,” katanya.

Eggi juga menyinggung proses hukum terhadap dua kliennya yang sebelumnya sempat menjalani sidang sebanyak tiga kali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelum akhirnya Bambang Tri ditangkap.

“Maka berpindahlah peristiwa hukum perdata ke pidana. Itu logika yang tidak bisa dibantah. Nah, perpindahan hukum itu berkonsekuensi logis secara ilmu hukum,” lanjutnya.

Selain itu, ia menilai aparat penegak hukum tidak menggunakan Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur penyebaran berita bohong atau menyesatkan.

“Jadi tidak ada berita hoaks atau berita palsu yang menghebohkan karena pasal itu tidak dipakai di pengadilan tinggi,” pungkasnya. (LS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *