TASIKMALAYAKU.ID – Asap tebal menggulung langit malam di Dusun Kandang Gajah, Desa Dewasari, Kecamatan Cijeungjing. Nyala api yang mengamuk dari sebuah rumah permanen di RT 006/RW 013 membuat puluhan warga berhamburan keluar, panik, saling berteriak meminta bantuan.
Jam menunjukkan pukul 19.10 WIB. Dalam hitungan menit, sebagian rumah berukuran 10 x 5 meter itu berubah menjadi puing hitam dan bara.
Di tengah kepanikan, kabar mengejutkan menyebar cepat: rumah tersebut diduga dibakar oleh pemiliknya sendiri, Adjie Sakabuana (61), pria yang dikenal warga dengan riwayat gangguan kejiwaan.
Menurut Kepala Desa Dewasari, Ending, insiden ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan menyimpan potongan-potongan cerita yang selama ini terabaikan.
“Kami juga tidak menyangka. Pak Adjie sudah hampir setahun ini tampak normal. Bahkan siangnya masih terlihat beraktivitas, sempat belanja ke warung,” ucap Ending.
BACA JUGA : Gus Jawwad: Bantuan Ponpes Harus Masuk Akal, Tapi Jangan Abaikan Kebutuhan
Adjie tinggal bersama istri dan anaknya di rumah yang kini tinggal puing itu. Menurut keterangan keluarga, setahun lalu ia sempat menjalani perawatan intensif akibat gangguan jiwa. Selama beberapa bulan terakhir, kondisinya diklaim membaik.
Namun, dua hari sebelum kebakaran, keluarga mulai memperhatikan perubahan—Adjie sering melamun di depan rumah, menatap kosong, tanpa arah.
Kebakaran malam itu membuat warga tersadar bahwa ketenangan Adjie mungkin hanyalah permukaan.
“Setelah membakar rumahnya, dia tidak melarikan diri. Justru duduk diam. Keluarganya yang membujuk dia, lalu dibantu warga untuk diamankan,” ungkap salah satu tetangga.
Di sisi lain, upaya pemadaman berlangsung menegangkan. Rumah yang terbakar berada di kawasan padat penduduk. Jika terlambat beberapa menit saja, api bisa menjalar ke rumah-rumah lainnya.
Kepala BPBD Ciamis, Ani Supiani, memuji kerja cepat petugas UPTD Pemadam Kebakaran, yang dalam waktu singkat tiba di lokasi dan berhasil mencegah kobaran api meluas. “Ini bentuk sinergi yang baik antara petugas, warga, dan pemerintah desa,” kata Ani.
Api akhirnya berhasil dipadamkan, namun dampaknya tak bisa dipadamkan semudah itu. Rumah Adjie nyaris rata dengan tanah. Kerugian ditaksir mencapai Rp15 juta. Tak ada korban jiwa, namun trauma psikologis, baik bagi keluarga maupun warga sekitar, masih terasa menggantung di udara.
Kejadian ini membuka pertanyaan tentang dukungan terhadap kesehatan mental di lingkungan pedesaan. Bagaimana pemantauan terhadap penyintas gangguan jiwa dilakukan? Sejauh mana pemulihan benar-benar diukur? Dan apa peran lingkungan dalam menjaga agar tragedi seperti ini tidak terulang?
Sementara rumah itu kini hanya menyisakan abu dan kenangan, masyarakat Dusun Kandang Gajah dihadapkan pada satu kenyataan baru, bahwa gangguan jiwa bukan sekadar penyakit yang sembuh dengan waktu, tapi juga sebuah kondisi yang menuntut perhatian berkelanjutan—bukan hanya dari keluarga, tapi dari kita semua. (*)