Pendidikan

Ahli Gizi Kritik Pemberian Susu Kemasan dalam Program MBG

×

Ahli Gizi Kritik Pemberian Susu Kemasan dalam Program MBG

Sebarkan artikel ini
Foto: Ilustrasi

TASIKMALAYA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan pemerintah kembali menuai sorotan. Salah satu menu dalam program tersebut, yakni susu kemasan, mendapat kritik tajam dari kalangan ahli gizi yang menilai tidak semua anak Indonesia cocok mengonsumsinya.

BACA JUGA : Harga Emas Antam Tembus Rp2,36 Juta per Gram Selasa (14/10), Naik Rp29 Ribu

Kritikan itu disampaikan oleh dr Tan Shot Yen, dokter sekaligus ahli gizi masyarakat. Ia menilai, meski tujuan program MBG baik untuk meningkatkan asupan gizi anak sekolah, namun pemilihan susu kemasan sebagai salah satu menu belum sepenuhnya tepat.

Menurut dr Tan, sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya yang berasal dari etnik Melayu, memiliki kondisi intoleransi laktosa atau ketidakmampuan tubuh mencerna gula alami dalam susu.

Foto: Ilustrasi

“Tidak banyak orang tahu bahwa etnik Melayu, yang juga mencakup sebagian besar masyarakat Indonesia, sekitar 80 persennya itu intoleran laktosa, termasuk saya. Jadi Anda bisa bayangkan dampaknya,” ujar dr Tan dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR, dikutip dari detik.com, (13/10/2025).

Ia menilai, pemberian susu dalam MBG seharusnya mempertimbangkan kondisi biologis tersebut agar tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi peserta didik. “Kalau dipaksakan, banyak anak justru bisa mencret,” kata dr Tan.

Selain itu, dr Tan mengingatkan bahwa Indonesia telah meninggalkan konsep empat sehat lima sempurna sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) pada 2014. Panduan tersebut telah diganti dengan Pedoman Gizi Seimbang atau Isi Piringku, yang menekankan pentingnya konsumsi beragam sumber pangan tanpa harus menjadikan susu sebagai sumber protein utama.

“Susu adalah bagian dari protein hewani yang tidak begitu penting selama kita punya telur, ikan, dan daging. Kita negara kaya protein hewani, jadi tidak harus bergantung pada susu,” jelasnya.

Kritik juga dilontarkan terhadap kualitas susu kemasan yang dibagikan dalam program MBG. Menurut dr Tan, sebagian besar produk tersebut bukanlah susu murni melainkan minuman bergula rasa susu.

“Yang dibagi itu bukan susu, tapi minuman bergula. Ini bukti bahwa publik kita sudah pintar, bisa menilai sendiri mana yang benar-benar susu dan mana yang hanya minuman manis,” tegasnya.

Penjelasan Badan Gizi Nasional

Menanggapi kritik tersebut, Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan bahwa keputusan memasukkan susu dalam program MBG telah melalui proses kajian ilmiah yang panjang dan berbasis bukti.

Prof Epi Taufik, Tim Pakar Bidang Susu BGN sekaligus Guru Besar Ilmu dan Teknologi Susu Fakultas Peternakan IPB, mengatakan bahwa hampir semua panduan gizi di dunia tetap menempatkan susu dan produk olahannya (dairy) sebagai bagian dari diet seimbang.

“Dalam berbagai dietary guidance seperti di Malaysia, Jepang, China, hingga panduan Isi Piringku dari Kementerian Kesehatan RI dan prinsip B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman) dari Bapanas RI, susu selalu masuk dalam rekomendasi. Ini bukan soal ikut-ikutan, tapi karena bukti ilmiahnya kuat,” ujar Prof Epi.

Ia menjelaskan, susu mengandung 13 zat gizi esensial yang penting untuk pertumbuhan tulang, perkembangan otak, serta daya tahan tubuh anak usia sekolah.

“Anak usia 9 hingga 12 tahun sedang berada di masa peak growth velocity, yaitu periode percepatan pertumbuhan tinggi badan dan peningkatan kebutuhan energi yang tajam. Kalsium dari makanan harian biasanya baru mencukupi 7–12 persen dari kebutuhan harian. Tambahan dari susu membantu menutup kekurangan itu agar pertumbuhan optimal,” paparnya.

Kepala Biro Hukum dan Humas BGN, Khairul Hidayati, menambahkan bahwa setiap produk susu yang digunakan dalam program MBG diwajibkan mengandung minimal 20 persen susu segar lokal.

“Susu dalam MBG bukan hanya menyehatkan anak-anak, tapi juga menghidupkan ekonomi desa. Peternak rakyat kini memiliki pasar yang stabil dan berkelanjutan,” ujar Khairul.

Antara Gizi dan Realitas Lapangan

Perdebatan soal menu susu kemasan dalam MBG menunjukkan adanya perbedaan pandangan antara aspek ilmiah dan pendekatan kultural. Bagi sebagian ahli gizi, penting untuk menyesuaikan pola konsumsi dengan kondisi biologis masyarakat lokal agar program tidak kontraproduktif.

Sementara bagi pemerintah dan lembaga gizi nasional, susu tetap dianggap memiliki nilai strategis baik untuk mendukung tumbuh kembang anak maupun memperkuat rantai ekonomi pangan dalam negeri.

Meski demikian, polemik ini menjadi pengingat penting bahwa kebijakan pangan publik perlu terus dievaluasi agar tidak hanya berorientasi pada ketersediaan gizi, tetapi juga pada kesesuaian dengan kondisi sosial dan kesehatan masyarakat. (LS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *