TASIKMALAYAKU.ID – Menjelang evaluasi 100 hari masa jabatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadhan dan Diky Chandra, sorotan tajam mulai mengarah pada kinerja keduanya. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Tasikmalaya menjadi salah satu pihak yang paling vokal menyuarakan kekecewaan.
Bagi PMII, masa seratus hari bukan sekadar tenggat simbolik, melainkan parameter awal komitmen terhadap janji kampanye: perubahan dan keadilan sosial. Namun, menurut Ketua PC PMII Tasikmalaya, Ardiana Nugraha, janji itu tampak semakin menjauh dari kenyataan.
“Sudah hampir 100 hari menjabat, tapi kami belum melihat langkah konkret untuk menjawab persoalan-persoalan mendasar di Tasikmalaya. Justru, banyak masalah yang terkesan diabaikan,” tegas Ardiana dalam pernyataan resminya, (13/5/2025).
OPD Tanpa Kepala dan Terminal Liar: Simbol Kemandekan Awal
Kritik PMII tak lahir dari ruang kosong. Mereka menyoroti kekosongan jabatan struktural di sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang hingga kini belum terisi. Padahal, posisi-posisi tersebut merupakan motor penggerak kebijakan teknis di lapangan.
BACA JUGA : Bayar Pajak Cukup dengan Sampah? Bisa Banget di Desa Ini!
Di sisi lain, terminal liar terus menjamur di berbagai sudut kota akibat aktivitas pool bus yang tak terkontrol. Situasi ini bukan hanya menimbulkan kemacetan dan ketidaknyamanan, tetapi juga mengindikasikan lemahnya tata kelola ruang kota.
“Apakah ini cerminan keberanian seorang kepala daerah? Atau hanya bagian dari pola lama yang kembali diulang?” tanya Ardiana.
Akses Kerja yang Mandek, Rakyat Menunggu Jawaban
Tasikmalaya adalah rumah bagi lebih dari 740 ribu jiwa. Namun akses terhadap lapangan kerja masih menjadi momok. Di tengah geliat urbanisasi dan tingginya ekspektasi publik terhadap pemerintahan baru, lambatnya intervensi kebijakan untuk membuka peluang kerja menjadi titik kritik tersendiri.
Bagi PMII, ini bukan sekadar soal ekonomi. Ini soal keadilan sosial—apakah pemerintahan Viman–Diky berpihak pada masyarakat kecil atau justru menyerah pada arus pragmatisme politik dan kekuatan modal.
Isu Rumah Dinas dan Kesan Elitisme yang Mengusik
Salah satu isu yang kini menyeruak adalah soal penggunaan rumah dinas Wakil Wali Kota. PMII mengklaim memperoleh informasi bahwa rumah dinas yang digunakan Diky Chandra berada di kawasan elite, Mayasari Town House, dan dibiayai oleh APBD.
“Ini soal moralitas anggaran. Di satu sisi menolak mobil dinas sebagai simbol kesederhanaan, tapi di sisi lain justru menempati rumah dinas di kawasan elite yang dibayar oleh uang rakyat. Publik berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kata Ardiana.
PMII mendesak aparat penegak hukum untuk turun tangan menyelidiki dugaan adanya permainan kepentingan, termasuk kemungkinan adanya skenario pengembalian modal politik pasca Pilkada.
Antara Simbolisme dan Tuntutan Nyata
Sebagai organisasi yang kerap menjadi mitra kritis pemerintah, PMII menegaskan bahwa mereka tidak menolak pemerintahan baru. Namun mereka menuntut konsistensi antara janji dan kebijakan. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam waktu dekat, langkah selanjutnya sudah dipersiapkan.
“Kami akan mendesak pengunduran diri Wali Kota dan Wakil Wali Kota jika tak ada perbaikan nyata. Ini bukan soal oposisi, ini soal keberpihakan pada rakyat,” pungkas Ardiana. (*)