TASIKMALAYA – Suasana Desa Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, Selasa (7/10/2025), tampak berbeda dari biasanya. Sejak pagi, aktivitas di kantor desa mendadak ramai. Sejumlah aparat dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terlihat keluar-masuk gedung Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) setempat. Pemeriksaan intensif berlangsung selama hampir 10 jam, sebuah durasi yang cukup panjang untuk ukuran audit di tingkat desa.
BACA JUGA : Pohon Beringin di Cisayong Kembali Tumbang, Camat Soroti Respons Lambat Dinas Provinsi
Pemeriksaan itu menjadi sorotan publik, mengingat BUMDes Cigalontang tengah diselimuti berbagai persoalan, mulai dari dugaan tidak adanya keterbukaan informasi publik, minimnya transparansi anggaran, hingga indikasi penyalahgunaan wewenang oleh pengelolanya.
Audit Ketat, Warga Gelar Aksi di Hari yang Sama
Menariknya, di hari yang sama, sekelompok warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Cigalontang (FORMACI) menggelar aksi dan audiensi hingga dini hari. Mereka menuntut agar hasil pemeriksaan BPK dibuka secara transparan dan menjadi momentum untuk membenahi tata kelola BUMDes.

Koordinator FORMACI, Yusuf Nugraha, menyebut pemeriksaan BPK menjadi “titik balik” bagi masyarakat untuk menuntut kejelasan atas pengelolaan dana desa yang selama ini dianggap tidak transparan.
“Kami berharap pemeriksaan ini bukan hanya seremonial, tapi benar-benar membuka tabir pengelolaan keuangan BUMDes yang selama ini tertutup. Masyarakat berhak tahu berapa modal awal, bagaimana dana digunakan, dan untuk apa hasil usahanya,” ujar Yusuf.
Masalah Transparansi Jadi Sorotan Utama
Menurut Yusuf, selama ini pengurus BUMDes tidak pernah mempublikasikan laporan keuangan secara terbuka. Tidak ada forum desa, papan informasi, atau laporan semester dan tahunan sebagaimana diatur dalam regulasi.
Kondisi itu, kata dia, menimbulkan kecurigaan di masyarakat. Sebab, tidak ada kejelasan terkait arus kas, kegiatan usaha, serta keuntungan yang diperoleh. Bahkan muncul dugaan bahwa beberapa unit usaha fiktif hanya ada di atas kertas.
“Ada laporan bahwa dana penyertaan modal habis tanpa hasil jelas. Bahkan ada praktik mark-up pengadaan barang, hingga peminjaman kas BUMDes oleh oknum tertentu. Ini harus dibuka dan ditindak,” tegas Yusuf.
Pengelolaan Dinilai Tak Profesional
Selain soal keuangan, kualitas sumber daya manusia (SDM) pengelola BUMDes juga menjadi catatan penting. Menurut FORMACI, banyak pengurus yang ditunjuk bukan berdasarkan kemampuan atau pengalaman, tetapi karena kedekatan politik. Akibatnya, pengelolaan usaha tidak profesional, administrasi berantakan, dan kinerja BUMDes stagnan.
Indikasi penyalahgunaan wewenang pun muncul. Beberapa aset desa dilaporkan digunakan untuk kepentingan pribadi, sementara penyaluran modal justru menguntungkan kelompok tertentu.
“Ini bukan lagi soal kesalahan teknis, tapi persoalan tata kelola dan integritas. Kalau dibiarkan, kepercayaan publik akan hilang,” tutur Yusuf.
Dampak Sosial dan Seruan Reformasi
Kondisi tersebut menimbulkan dampak sosial yang signifikan. Warga merasa tidak mendapatkan manfaat optimal dari keberadaan BUMDes yang sejatinya dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.
Dana desa yang seharusnya berputar di masyarakat justru tidak jelas pemanfaatannya. Beberapa usaha warga yang diharapkan mendapat dukungan dari BUMDes malah jalan di tempat.
Yusuf menegaskan, kritik yang disuarakan masyarakat bukan untuk menjatuhkan pengelola, melainkan untuk mendorong reformasi tata kelola agar BUMDes kembali pada tujuan semula: mensejahterakan warga desa.
“BUMDes itu milik bersama, bukan milik segelintir orang. Pemeriksaan BPK ini harus jadi momentum perbaikan, bukan sekadar formalitas. Kami ingin transparansi dan akuntabilitas ditegakkan,” ujarnya.
Menanti Langkah Lanjut
Hingga kini, BPK belum mengumumkan hasil resmi pemeriksaan terhadap BUMDes Cigalontang. Namun masyarakat berharap hasil audit akan menjadi dasar bagi pemerintah desa dan aparat terkait untuk melakukan evaluasi menyeluruh.
Pemeriksaan tersebut diharapkan membuka lembar baru dalam pengelolaan dana desa — agar BUMDes tidak sekadar menjadi nama lembaga, melainkan benar-benar menjadi motor penggerak ekonomi desa seperti yang dicita-citakan dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014.
“Kami akan terus mengawal. Desa harus punya BUMDes yang transparan, profesional, dan berpihak pada rakyat,” pungkas Yusuf. (rzm)