
TASIKMALAYA – Gejolak politik dan ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga negara. Demonstrasi besar yang pecah di berbagai daerah tidak hanya menuntut perubahan kebijakan, tetapi juga mengarah pada tuntutan pembubaran DPR. Inikah isyarat bahwa Indonesia sedang berdiri di persimpangan sejarah yang menentukan arah bangsa?
Sejak Agustus hingga September 2025, rakyat turun ke jalan menuntut perubahan. Mereka bukan sekadar menyuarakan ketidakpuasan, tetapi menegaskan bahwa DPR telah kehilangan legitimasi. Korupsi, politik uang, serta gaya hidup mewah anggota DPR membuat rakyat muak. Peristiwa pengemudi ojol, Affan Kurniawan, yang dilindas rantis Brimob semakin memperburuk citra aparat dan penguasa.
Demo massa di gedung DPR bukanlah sembarang demo. Massa membawa seabrek persoalan yang terjadi di negara ini untuk disuarakan kepada anggota DPR terhormat. Sayang, upaya massa untuk menyampaikan aspirasi dianggap enteng. Tak ada satu pun anggota DPR yang menerima mereka pada saat berdemo. Buntut dari pelecehan anggota DPR inilah kekecewaan massa berubah menjadi perlawanan. Kemudian, perlawanan kini menuntut perubahan total. Rakyat meminta Presiden tidak hanya memperbaiki DPR, tetapi juga membubarkan lembaga tersebut, lalu membentuk struktur baru yang dipandang lebih bersih dan amanah.
Gelombang kemarahan rakyat semakin terasa manakala beberapa rumah pejabat DPR RI digerebek massa. Rumah Eko Patrio, rumah Uya Kuya, rumah Napaurbah, rumah Ahmad Sahroni, dan rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi sasaran amarah rakyat. Akibat amukan tersebut, anggota dewan yang “terhormat” menelan kerugian materi miliaran rupiah. Tak hanya itu, mereka juga mengalami keruntuhan wibawa di mata rakyat. Inilah fakta kelabu ketidakpuasan masyarakat terhadap anggota DPR.
Jika situasi ini tidak segera direspons, maka amarah rakyat bisa berkembang menjadi ledakan sosial yang lebih besar. Sejarah mencatat, revolusi sering kali lahir ketika pemerintah mengabaikan jeritan rakyat. Pertanyaannya, akankah Presiden berani mengambil keputusan tegas, seperti Presiden Soekarno dengan Dekrit 5 Juli 1959, atau Presiden Abdurrahman Wahid yang pernah mewacanakan pembubaran DPR?
Kemarahan rakyat lahir dari pengalaman nyata. Mereka melihat anggota DPR lebih sibuk menaikkan tunjangan dan fasilitasnya, sementara rakyat berjuang menghadapi harga kebutuhan pokok yang terus melambung. Rakyat juga menyaksikan aparat bersikap represif terhadap demonstrasi damai. Budaya hedon DPR dan Pemerintah yang didukung aparat justru bertindak gagah terhadap rakyatnya. Hal inilah yang memantik api kemarahan atas ketidakadilan selama ini, hingga melahirkan tuntutan perubahan radikal di negara ini.
Rakyat menuntut perubahan radikal. Mereka ingin transparansi anggaran, audit partai politik, serta penghentian praktik politik dinasti. Oleh karena itu, lahir 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang sebagai dokumen perlawanan rakyat. Rakyat sudah marah kepada DPR. Penyebabnya, anggota DPR selalu memperjuangkan kesejahteraan sendiri, sementara rakyat dibiarkan sengsara. Penyebab lainnya adalah pelecehan anggota DPR dalam pengesahan RUU Perampasan Aset para koruptor. Melihat realitas tersebut, rakyat menilai bahwa DPR dan Pemerintah telah menyengsarakan rakyat.
Perilaku politik buruk yang dipertontonkan DPR dan Pemerintah selama ini menjadi pemicu rakyat bergerak. Untuk itu, baik anggota DPR maupun Pemerintah harus berani berpikir sistematis, bukan kosmetik. Jika Presiden tidak mengambil sikap, rakyat bisa melangkah lebih jauh seperti di Prancis atau Nepal. Karenanya, strategi pencegahan jauh lebih efektif daripada menunggu krisis pecah. Kuncinya adalah Presiden harus mendengarkan rakyat sebelum terlambat.
Untuk memuluskan perjalanan sejarah bangsa, tentu saja apa yang menjadi kemauan rakyat sebagaimana tertuang dalam 17 tuntutan dan 8 agenda jangka panjang harus didengar dan dikabulkan. Tuntutan yang disodorkan kepada DPR dan Pemerintah lahir dari pengalaman nyata dan aspirasi kolektif. Presiden tidak bisa mengabaikannya. Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Kini bola panas ada di tangan pemerintah. Pilihannya adalah Presiden berani berdiri bersama rakyat atau justru melawan arus sejarah?
Oleh: Rohidin, SH., MH., M.Si
(Penulis adalah Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18)