TASIKMALAYA – Wacana mengenai amnesti dan abolisi kembali mencuat setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong. Istilah ini mungkin terdengar akrab, namun tidak semua orang memahami akar sejarah dan makna hukumnya.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan bahwa praktik amnesti maupun abolisi sejatinya telah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Penjelasan itu ia sampaikan saat memberikan kuliah umum bagi mahasiswa baru di Auditorium Djokosoetono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (25/8/2025).
“Secara etimologis, amnesti berasal dari kata amnesia dalam bahasa Yunani yang berarti melupakan. Praktik ini sudah ada sejak 2.500 tahun yang lalu sebagai bentuk pengampunan terhadap kesalahan hukum,” ujar Yusril, dikutip dari detik.com.
Menurutnya, amnesti merupakan penghapusan pidana yang diberikan oleh presiden kepada seseorang, baik sebelum perkara diadili maupun ketika proses pemidanaan berlangsung. Sedangkan abolisi berarti penghapusan seluruh akibat hukum dari putusan pengadilan terhadap seorang terpidana. Keduanya merupakan bentuk pengampunan yang hanya bisa diputuskan oleh kepala negara.
BACA JUGA : Diduga Gelapkan Dana Penyertaan Bumdes, Kades Pasirbatang Dilaporkan ke Polisi
Dari Ramses II hingga Nabi Muhammad SAW
Sejarah mencatat, praktik pengampunan massal bukanlah hal baru. Yusril menyinggung Raja Ramses II di Mesir yang pernah memberikan pengampunan kepada musuh-musuhnya setelah memenangkan peperangan, demi merajut rekonsiliasi dan perdamaian.
Dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad SAW juga dikenal memberikan pengampunan besar-besaran pada peristiwa Fathul Makkah. Setelah kota Mekkah dikepung dan menyerah tanpa perlawanan pada tahun 8 Hijriah, Nabi mengumumkan amnesti umum.
“Beliau menyebut hari penaklukan itu sebagai yaumul marhamah atau hari kasih sayang, dengan perintah agar tidak ada balas dendam terhadap penduduk maupun pasukan Mekkah yang sebelumnya memusuhi kaum Muslimin,” tutur Yusril.
Nabi bahkan menegaskan kemenangan tanpa kekerasan tersebut sebagai bukti bahwa kebenaran akan menyingkirkan kebathilan. Ia mengutip Al-Qur’an: “Ja al-haqqu wa zahaqal bathil, innal bathila kana zahuqa” (Kebenaran telah datang dan kebathilan akan sirna, karena sesungguhnya kebathilan tidak akan mampu bertahan di hadapan kebenaran).
Jejak di Indonesia
Lalu bagaimana konsep amnesti dan abolisi hadir dalam sistem hukum Indonesia? Yusril menjelaskan, hal itu sudah tercantum dalam Pasal 14 UUD 1945.
“Ketika para pendiri bangsa menyusun UUD 1945, kewenangan presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi langsung dimasukkan tanpa perdebatan panjang,” katanya.
Namun, ketentuan tersebut mengalami perubahan dari masa ke masa. Pada awalnya presiden memiliki hak prerogatif penuh tanpa perlu persetujuan lembaga lain. Setelah reformasi konstitusi tahun 1999–2003, mekanisme itu diubah sehingga presiden kini harus memperoleh persetujuan DPR untuk memberikan amnesti maupun abolisi.
Perubahan juga terjadi seiring dinamika sistem ketatanegaraan. Misalnya, setelah 16 Oktober 1945 Indonesia beralih ke sistem parlementer, kewenangan presiden terkait amnesti dan abolisi pun mengikuti corak peraturan dasar yang berlaku.
“Dalam praktiknya, baik di masa UUD 1945, UUDS 1950, maupun setelah kembali ke UUD 1945, ketentuan tentang amnesti dan abolisi kerap mengalami penyesuaian,” jelas Yusril.
Dari Masa Revolusi Hingga Reformasi
Dalam sejarah Indonesia modern, kebijakan amnesti sudah beberapa kali diterapkan. Presiden Soekarno pada 1949 memberikan amnesti bagi para pejuang republik setelah pengakuan kedaulatan. Pada 1961, ia kembali mengeluarkan kebijakan serupa untuk merangkul eks pemberontak PRRI/Permesta maupun DI/TII.
BACA JUGA : Warga Desa Dawagung Gruduk Kantor Desa, Pertanyakan Program Ketahanan Pangan dan Bumdes
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, amnesti juga diberikan pada 2005 kepada anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bagian dari perjanjian damai Helsinki.
Semua itu menunjukkan bahwa amnesti dan abolisi bukan sekadar istilah hukum, melainkan instrumen politik sekaligus kemanusiaan yang kerap dipakai negara untuk merajut rekonsiliasi, meredam konflik, dan mengembalikan stabilitas.
“Sejarah panjang ini menunjukkan bahwa amnesti dan abolisi bukan hanya bagian dari teks konstitusi, tetapi juga praktik nyata yang ikut membentuk perjalanan bangsa,” pungkas Yusril. (LS)