TASIKMALAYA – Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Bhayangkara belum lama ini diramaikan oleh kejutan yang tidak biasa, kehadiran sosok robot polisi. Kemunculan robot tersebut sontak menjadi pusat perhatian publik dan menimbulkan beragam tanggapan. Di satu sisi, publik mengapresiasi langkah Polri yang mencoba berinovasi mengikuti perkembangan zaman. Di sisi lain, muncul pertanyaan kritis, seberapa relevan dan mendesakkah kehadiran robot dalam institusi kepolisian kita saat ini?
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dalam sambutannya menyatakan bahwa uji coba robot tersebut tidak menggunakan anggaran negara, karena masih berada dalam tahap percobaan. Robot itu merupakan hasil rancangan PT Ezra Robotics Teknologi, perusahaan yang mengembangkan lima unit robot dengan nilai investasi sekitar Rp3 miliar per unit. Salah satu prototipe, yaitu I-K9, diklaim memiliki kemampuan mendeteksi bahan peledak, berlari dengan kecepatan hingga 7 meter per detik, dan membawa beban hingga 85 kilogram.

Namun, kehadiran robot ini menimbulkan pertanyaan fundamental, apa motif sebenarnya di balik tampilnya teknologi ini di panggung perayaan ulang tahun Polri?
Simbolisasi Adaptasi?
Dari kacamata penulis, kehadiran robot tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk simbolik bahwa Polri ingin menunjukkan kesiapan mereka untuk beradaptasi dengan era digital dan teknologi tinggi. Ini bisa dibaca sebagai pernyataan implisit bahwa institusi kepolisian tak ingin tertinggal dari negara-negara maju yang lebih dulu memanfaatkan teknologi otonom dan kecerdasan buatan dalam sektor keamanan.
Langkah Polri menguji coba robot ini memang menunjukkan itikad untuk berubah. Namun, perubahan semacam ini tidak boleh bersifat kosmetik. Perubahan harus disertai evaluasi internal yang mendalam dan komunikasi publik yang jujur serta transparan. Dibutuhkan audit menyeluruh terhadap kesiapan unit-unit kepolisian di berbagai daerah. Hasil audit itu semestinya menjadi dasar dalam menilai kelayakan penggunaan teknologi semacam ini secara nasional.
Publik berhak tahu, apakah robot tersebut nantinya akan dibeli, disewa, atau dikembangkan mandiri oleh negara? Informasi semacam ini bukan sekadar teknis administratif, tetapi berkaitan langsung dengan prinsip akuntabilitas.
Kebutuhan atau Kemewahan?
Satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah konteks lokal. Banyak kantor polisi di pelosok negeri masih kesulitan dengan persoalan mendasar, kekurangan kendaraan patroli, akses internet yang belum merata, hingga keterbatasan jumlah dan kualitas personel. Dalam kondisi seperti itu, kehadiran robot polisi justru berpotensi menimbulkan kecemburuan institusional. Inovasi yang tidak berbasis kebutuhan riil bisa menjadi beban, bukan solusi.
Publik juga mempertanyakan urgensi robot polisi di tengah masih banyaknya pekerjaan rumah Polri dalam membenahi citra, integritas, dan pelayanan publik. Jika tidak hati-hati, kehadiran robot bisa dimaknai hanya sebagai simbol kemewahan teknologi tanpa dampak nyata terhadap pelayanan dan keadilan.
Regulasi yang Tertinggal
Aspek lain yang patut menjadi perhatian adalah kesiapan sistem hukum. Saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi yang spesifik mengatur penggunaan kecerdasan buatan (AI), robotika, atau sistem otonom dalam konteks keamanan. Jika Polri bergerak lebih cepat dari regulasi, maka negara harus segera menyusul dengan membentuk tim lintas disiplin yang melibatkan pakar hukum, teknologi, dan masyarakat sipil.
Transisi teknologi semestinya memperkuat rasa keadilan, bukan justru menimbulkan ketimpangan atau kesewenang-wenangan. Untuk itu, penggunaan robot harus diatur melalui standar operasional prosedur (SOP) yang jelas. Tidak cukup jika Polri hanya menyatakan bahwa robot akan “membantu” kinerja polisi. Harus ada jaminan bahwa keberadaan robot tidak akan melanggar hak-hak sipil dan prinsip-prinsip dasar hukum.

Transparansi dan Akuntabilitas
Isu lain yang tidak boleh dilupakan adalah transparansi dalam kerja sama antara Polri dan pihak swasta. Jika benar bahwa proyek ini tidak menggunakan anggaran negara, maka publik tetap perlu mengetahui bentuk kerja samanya. Jangan sampai ada ruang abu-abu yang bisa merusak akuntabilitas lembaga. Kata “uji coba” tidak bisa menjadi alasan untuk menghindari pengawasan publik.
Masyarakat tentu mendukung inovasi. Namun, inovasi harus berpihak pada prinsip keadilan, efisiensi, dan transparansi. Apalagi jika menyangkut dana miliaran rupiah dan potensi implikasi hukum di masa depan.
Mari kita kawal bersama arah perubahan teknologi di tubuh Polri. Inovasi memang perlu, tetapi kepercayaan publik jauh lebih penting. Jika tidak dilakukan secara bijak, robot polisi bisa berubah dari simbol kemajuan menjadi representasi kesenjangan.
Oleh: Rohidin, SH, MH, M.Si
(Penulis adalah Sultan Patrakusumah VIII – Trustee Guarantee Phoenix INA 18).