TASIKMALAYAKU.ID – Sebuah video yang menunjukkan sepasang pelajar SMA kedapatan berbuat mesum di dalam sebuah masjid di Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, mengundang kegemparan luas di tengah masyarakat.
Peristiwa ini terjadi pada Selasa pagi, 29 April 2025, dan menjadi sorotan setelah video penggerebekannya viral di berbagai platform media sosial.
Dalam video berdurasi singkat tersebut, dua orang warga tampak memberikan teguran keras kepada kedua remaja.
Salah satu pria yang terdengar dalam video menyuarakan kemarahannya dengan kalimat bernada religius dan emosional seperti, “Naudzubillah Min Dzalik,” dan “Innalillahi wainnailaihi rajiun,” menyiratkan betapa dalamnya luka moral yang dirasakan masyarakat akibat kejadian tersebut.
Kapolsek Pasirwangi, Iptu Wahyono Aji, membenarkan kejadian tersebut. Namun ia memilih tidak membeberkan detail lebih lanjut. “Kasus ini sudah kami serahkan kepada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Garut untuk penanganan lanjutan,” ujarnya singkat.
Penanganan kasus oleh PPA menunjukkan bahwa insiden ini tak sekadar pelanggaran moral atau norma agama, tetapi juga menyentuh aspek hukum dan perlindungan remaja. Dalam banyak kasus serupa, pendekatan yang hanya bersifat menghukum kerap dianggap tidak cukup. Diperlukan pendekatan pemulihan, edukatif, dan reformasi sosial yang lebih luas.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut, KH Sirojul Munir, menyatakan keprihatinan mendalam. Ia menyebut bahwa kejadian ini hanyalah salah satu dari banyak kasus serupa yang mencerminkan krisis moral generasi muda.
Menurutnya, perbuatan tidak pantas bahkan tidak jarang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, yang sejatinya menjadi benteng moral masyarakat.
“Kalau ini dibiarkan, kita khawatir generasi masa depan akan kehilangan arah,” katanya. Ia menambahkan bahwa pengawasan dari orang tua, guru, dan lembaga pendidikan — baik umum maupun pesantren — harus ditingkatkan secara signifikan.
Pengamat pendidikan dan remaja melihat bahwa fenomena seperti ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai tekanan sosial, kurangnya ruang edukatif yang sehat, minimnya literasi seksual yang berimbang, serta melemahnya relasi komunikasi antara anak dan orang tua.
Selain itu, eksposur remaja terhadap konten dewasa melalui media digital dan kurangnya filter lingkungan juga menjadi pemicu utama perilaku menyimpang. Dalam konteks ini, kasus yang terjadi di Garut hanyalah satu contoh dari persoalan yang lebih struktural.
Kejadian di Masjid Pasirwangi ini menjadi alarm keras yang menggugah banyak pihak — dari keluarga, masyarakat, hingga institusi negara — untuk melakukan refleksi mendalam. Pengawasan, pendidikan nilai, dan perlindungan terhadap remaja harus dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan.
Peristiwa ini bukan hanya tentang dua pelajar dan satu tempat suci. Ini adalah cermin besar tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, sedang menghadapi persoalan serius: krisis nilai di era keterbukaan. (*)